34. Kita Punya Rumah III

1K 242 57
                                    

Bagaimana rasanya terbang? Bagaimana rasanya tidak terikat pada tanah?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagaimana rasanya terbang? Bagaimana rasanya tidak terikat pada tanah?

Puluhan burung gagak terbang berputar-putar jauh di atas rumah, memberi aksen warna hitam pada bentangan langit biru yang luas. Mereka berceloteh, dalam bahasa yang kompleksitasnya berada di luar pemahaman makhluk-makhluk berkaki 2. Sayap hitam kelam mereka terentang lebar, ditopang angin, menantang ketinggian, saat mereka barangkali mengabarkan berita tentang kejatuhan manusia.

Lee Haechan mengawasi sekumpulan burung cantik misterius yang katanya melambangkan maut itu dari jendela di kamarnya di lantai 2. Sebuah tas berukuran besar terbuka di hadapannya, menampung pakaian-pakaiannya yang rata-rata berlengan panjang.

Hidupnya belum berakhir. Ia masih punya 2 adik yang harus ia cari, kakak non-sedarah, serta kampung halaman yang ingin ia capai. Jadi di sinilah dia一belum menyerah. Akar-akar keteguhan yang ditanam orang tuanya terlalu kuat untuk ditumbangkan. Ini bukan garis finish kan, Ma? Sifat keras kepala Haechan menjadi kekurangan merangkap kelebihannya.

Haechan mengambil 1 celana lagi dari lemari. Dia sedang serius melipatnya saat suara Grace melayang dari ambang pintu ke telinganya. "Haechan?"

Pemuda yang diserukan namanya itu menoleh. "Kamu butuh sesuatu?"

"Yah, ehm, sebenernya aku butuh baju dan kalau boleh..."

Haechan mengangguk mengerti. "Kamar tamu ada di bawah. Buka pintu yang paling deket sama dapur, di sana ada baju-baju sepupuku yang kelihatannya cocok buat kamu."

"Oke." Tapi Grace tidak menyingkir. Dia berdiri dengan kepala ditelengkan ke kiri dan menatap lurus pada tas Haechan yang separuh penuh. Perkara pakaian seolah menguap, digeser oleh kekhawatiran akan masa depan. "Oke," ulangnya, lalu pergi tanpa menoleh ke belakang.

Seperti Haechan, Grace juga tahu ada sesuatu yang mesti diputuskan, segera dan secepatnya.

Haechan melanjutkan kegiatan berkemasnya, memasukkan foto-foto keluarganya, hoodie, cardigan, jaket, peralatan mandi, dan di salah satu laci, kotak bekas jam tangan yang kini jadi hunian bagi koleksi koinnya yang berasal dari berbagai negara. 30 menit kemudian, dia turun dan menuju meja makan.

"Sarapan?" Grace duduk di kursi Yomi, menawarkan sarapan yang sangat terlambat.

"Ini makan siang." Haechan menerima mangkuk yang disodorkan, mengisinya dengan sereal, ditambah gula palem dan terakhir dicampur susu cokelat.

Kulkas lebih banyak terisi udara, sebab ini belum waktunya sang ibu belanja. Masih awal bulan, jadi mereka hanya makan apa yang ada. Namun dari bibir Grace, Haechan tak mendengar keluhan. Dia justru bertanya, "Apa menurutmu mereka udah sadar kita hilang?"

Seberapa marah Mark Lee sekarang? Haechan tersenyum membayangkannya. "Pasti. Kita mungkin udah bikin kepala Mark Lee meledak kayak kembang api."

"Sayang kita ngelewatin pertunjukannya. Selanjutnya apa? Kita bikin Mark makin ngambek?"

What Makes Us Human ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang