Zhong Chenle tersenyum.
Jika suasananya bagus dan mereka beruntung menemukan tempat berlindung, dia memang sering tersenyum, bahkan tertawa nyaring karena perkara yang tidak seberapa. Belakangan tidak banyak hal yang bisa ditertawakan. Dunia sudah rusak. Monster berkeliaran. Keluarga mereka lenyap. Tapi Chenle tampaknya selalu punya alasan untuk menepis kesedihan, sekecil apapun alasan itu bagi orang lain. Benar kata pepatah, tak ada badai yang berlangsung selamanya. Mau sekelam apapun badai itu, akan muncul orang-orang seperti Chenle yang tawanya menular.
"Chenle?" Jeno memanggilnya, tak lupa ikut mengukir senyum supaya tak terkesan mengintimidasi. "Keberatan kita ngobrol sebentar?"
Itu beberapa jam yang lalu.
Di sebuah mobil Subaru WRX STI berwarna silver yang ia dapatkan setelah menempuh perjalanan ke timur, Jeno mengusap wajah dan lehernya dengan beberapa helai tisu. Sebenarnya ia merasa ini sia-sia. Ia merasa aroma darah akan terus menempel di tubuhnya tak peduli berapa kali ia mandi, tapi ini masih lebih baik daripada memikirkan hal yang tak bisa diubah. Chenle meninggal, titik, karena Aru datang dan mengacaukan segalanya. Atau Chenle meninggal karena mereka tak bisa menyelamatkannya.
Pada saat ini, kedua pernyataan itu tak jauh berbeda.
Jeno membungkuk, dengan penuh rasa syukur meraih sebotol air yang diwariskan pemilik sebelumnya. Ini hari yang panjang, mungkin malah hari terpanjang di hidupnya. Dia sangat haus namun hanya berani minum seteguk, berkat ingatan mengenai adiknya dan 4 kepala lain yang kini menjadi tanggung jawabnya. Mark pergi, praktis hanya dialah yang tersisa.
Puas telah sedikit meredakan dahaganya, Jeno dan mobil barunya bergulir menyusuri tempat ia meninggalkan teman-temannya. Mereka masih di sana, untungnya. Dengan sekali lompatan, Jeno turun dari kendaraan dan mengoper botol airnya pada sang adik.
Jaemin minum, lantas menyeka mulutnya. "Sekarang apa?"
Dalam hitungan 1 sampai 5, Jeno terdiam. Dia mencoba mempertimbangkan apa yang harus dilakukan dari sudut pandang Mark, atau tepatnya apa yang akan dilakukan seorang Mark Lee, tapi dia bukan Mark, dan memutuskan solusi terbaik adalah menangani krisis ini dengan caranya sendiri.
Pertama, mereka tak mungkin terus tinggal di jalanan.
"Kita pergi dari sini. Bantu aku pindahin tas-tas kita, Jaemin. Mercedes itu udah tamat."
"Tunggu, Mark-hyung gimana?"
"Nanti aku ke sini lagi jemput dia."
Angkat bahu, Jaemin tak mampu menyumbang pemecahan masalah yang lebih bagus, tapi gerakan kecil itu membuatnya kesakitan. Dia membuang muka, segan membocorkan kelemahan. Gigi-giginya dirapatkan membendung keluhan.
Alis Jeno terangkat naik. "Sakitnya parah?"
"Nggak apa-apa." Jeno bisa mengendus banyaknya usaha yang Jaemin kerahkan untuk berpura-pura baik-baik saja. "Aku bisa periksa sendiri. Calon dokter, inget?"
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanfictionJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...