Makan malam di motel berlangsung lancar. Dan menyenangkan.
Selain di sekolah, Mark Lee jarang makan beramai-ramai dengan orang banyak, dimana semuanya tumpah ruah begitu saja di dapur, lobi motel yang sempit, atau halaman. Mereka menyebar dalam kelompok-kelompok kecil, mensyukuri apa yang ada, dan sesekali berbincang dengan satu kaki terangkat. Sersan Doyoung bilang, mereka makan dua kali sehari, pagi dan malam, yang tiap porsinya diatur sangat cermat. Malam itu menunya ikan一atau sebenarnya, ikan yang dibelah jadi dua bagian一dan orang-orang yang bosan dengan makanan instan bersorak gembira. Ikan-ikan yang selamat dari pembantaian dipelihara di sebuah rumah yang memiliki kolam renang.
Dalam acara itu, Mark menambahkan lima orang lagi yang memanggilnya "Markeu". Beberapa orang malah kesulitan membedakan Jaemin dan Renjun. Mengakrabkan diri jelas akan membutuhkan waktu.
Para penghuni lama, yang disebut Sang Letnan "kami" bersikap ramah tetapi hati-hati. Mark bertanya-tanya kapan jarak antara penghuni lama dan penghuni baru dapat dileburkan, mengingat dia belum bertemu semuanya. Empat orang rupanya makan malam lebih awal dan sedang melaksanakan tugas jaga. Teman Haechan, pemuda bernama Winwin itu benar一tempat ini dijaga 24 jam.
Tak ada hal lain yang bisa dikerjakan malam itu, jadi Mark pergi tidur. Paginya, dia bangun dan nyaris kena serangan jantung ketika berguling ke samping. Bukan kali pertama Jisung mengagetkan Mark dengan cara tidurnya yang unik; bocah itu kerap menutupi seluruh tubuhnya一benar-benar seluruh tubuh, dari ujung kaki sampai ujung rambut一seperti mayat saat terusik oleh serbuan nyamuk. Sungguh pemandangan yang bagus. Mark menarik selimutnya. "Bangun, Jisung."
Jisung menggeliat. Rambutnya yang mulai memanjang mencuat tak tentu arah. "Kita kerja hari ini?"
"Kayaknya kamu, Karina dan Sungchan harus ke Praka Kim."
"Aku inget orangnya."
Mark menepuk bahunya. Dia takkan meremehkan Jisung perkara kenangan. Jisung bagai database raksasa yang menyimpan segalanya. Dia bergegas turun ke bawah, mendapati bahwa dia bukan satu-satunya yang membuka mata. Jeno asyik berbincang dengan Karina di dapur. Kedua remaja yang sama-sama punya mole di wajah mereka itu, hanya berbeda letak, tersenyum pada satu sama lain. Kedatangan Mark si orang ketiga membuat mereka memisahkan diri dengan lambat.
"Pagi," sapanya, tak sadar posisi. "Semua udah bangun?"
"Lagi antre mandi." Jeno mengusap tengkuknya. Karina menunduk.
Setengah jam kemudian, mereka siap. Mereka menuju motel untuk sarapan pertama kalinya, disambut Sang Letnan dengan anggukan singkat yang bisa berarti dia puas atau justru tidak berarti apa-apa.
Suasana pagi ini lebih ceria dibanding semalam, senada dengan cuaca yang cerah. Tuhan telah melukis langit dengan warna biru yang diselingi gumpalan awan seputih salju. Empat anak kecil, termasuk adik-adik Haechan, memekik dan berlarian, berpura-pura sebagai prajurit atau tokoh kartun entah apa dengan sendok sebagai pedang mereka. Seulgi mengawasi sambil berkacak pinggang. "Makan yang bener. Yomi sama Raon, kalian bakal tetep dihukum kalau nggak serius sekolah walaupun ada kakak kalian, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
Fiksi PenggemarJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...