03. Kita Saling Menolong

1.8K 421 61
                                    

Hari itu cerah

Kamu tahu, jenis hari di mana kamu memikirkan mengenai berjemur di luar ruangan dengan kacamata bergaya trendy atau sekedar jalan-jalan di taman demi menghirup udara segar. Hal-hal seperti kecelakaan seharusnya berada sejauh planet lain. Memangnya tidak ada istirahat? Ini baru sepekan sejak keadaan membaik. Seharusnya ada jeda untuk setiap perkara. Badai yang berkelanjutan tanpa henti pun akan terlalu banyak bahkan bagi seorang pelaut handal.

Mark Lee menyipitkan matanya dari balik gerbang setinggi 3 meter yang memisahkan suasana stabil di sekolah versus kekacauan di luar sana. Mark tidak percaya ini, namun sepertinya terjadi tabrakan beruntun yang melibatkan sebuah ambulans, 2 mobil, dan 4 motor sekaligus yang memecah kelancaran lalu lintas.

"Apa ini serangan teroris?" Seseorang bertanya, tapi tak ada yang punya jawaban pasti untuk pertanyaannya.

"Kudeta, ya?"

"Atau huru-hara karena vaksin?"

Daftarnya semakin panjang saja. Mark tidak mengatakan apa-apa, sebatas mengawasi ketika dari salah satu mobil yang pintunya terpentang terbuka muncul seorang pria yang menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri bergantian. Pria itu menggeram, memamerkan gigi-giginya. Dia berjalan cukup cepat一nyaris seperti berlari一dan merenggut bahu gadis muda yang paling dekat dengannya.

Gadis itu memekik, menampar dan menendang, tapi cengkeraman pria itu seerat belitan baut dan sulit dilepas.

"Hei!" Pada saat itulah, Mark akhirnya bersuara. "Hei, lepasin dia!"

Tidak dihiraukan. Suara Mark bagai cahaya yang memantul di permukaan kaca. Di hadapan Mark, pria itu membungkuk pada leher si gadis dan menggigitnya sampai sekerat daging ikut tercerabut. Murid di sebelah Mark berteriak. Simfoni kekacauan itu menjadi-jadi, seperti lagu yang tersusun dari teror dan rasa takut.

"Buka gerbangnya!" Mark berseru gusar. "Kita harus nolong dia!"

"Wow, wow, tenang dulu, Nak." Sebuah tangan besar menghalanginya saat ia akan menggeser gerbang itu. Mark menoleh dan bertatapan dengan guru Han. "Apapun yang terjadi di luar kayaknya parah. Kita mestinya nggak ikut campur."

Mark menatapnya tak percaya. "Ada orang yang luka di sana一"

"Yang artinya kita perlu nelepon ambulans dan polisi." Saran sang guru. "Itu tugas mereka, bukan kita. Jadi kita biarin pihak berwenang ngurus ini. Emangnya warga sipil bisa apa?"

Bila topiknya adalah keahlian, pemuda 18 tahun yang tidak berpengalaman jelas kalah dari polisi yang secara khusus dilatih untuk menangani kerusuhan. Tapi berdiam diri saat ada yang membutuhkan bukanlah gaya Mark. Dia menepis pemikiran itu. "Kita bisa bertindak, Pak. Kita bisa bantu mereka, dan menurut Saya, itu hal yang benar daripada sekedar jadi penonton dari sini."

Dengan itu, dia meraih pegangan gerbang dan membukanya.

Terpengaruh kata-katanya, teman-temannya ikut keluar, berhamburan memenuhi jalan dan merangsek ke jantung kekerasan. Mark meraih atasan pria itu, yang secara harfiah, sungguh-sungguh melahap si gadis seolah ia adalah makanan lezat. Dia mendorongnya, membenturkannya ke sebatang pohon dan terkesiap sebentar saat memandang mulut yang asyik mengunyah daging manusia mentah-mentah.

Apa-apaan ini? Kanibal di dunia nyata?

Pria itu mengunci tatapannya pada Mark, marah dan terganggu. Rasa sakit karena bertabrakan dengan sebongkah kayu tebal seakan tidak berefek, dia bangkit semudah orang lain merobek kertas dan menerjang dirinya dengan jari-jari berlumur cairan berwarna merah.

Mark mundur, mencari-cari sesuatu一apa saja!一yang bisa dijadikan senjata, tapi ia tidak menemukannya. Waktu berpikir pun habis dan tahu-tahu, pria itu menimpanya seperti seekor anjing liar.

What Makes Us Human ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang