10. Kita Berbakat

1.4K 375 72
                                    

Tulisan Jisung cukup bagus untuk ukuran laki-laki.

Kecil-kecil dan rapi, berbaris di jalur yang sudah ditentukan seperti kumpulan semut yang berarakan pulang ke sarangnya. Saat Mark kira dia sedang membuat catatan harian, rupanya dia sedang memikirkan cara untuk keluar dari situasi ini.

Rencana pertama, yang ia klaim sederhana, hanya memakan setengah halaman yang sebagian besar diisi tentang pertimbangan bahan kimia apa yang paling baik dipakai. Berurutan di bawahnya, adalah analisis tentang zombie yang ia ketahui; kepekaan mereka terhadap suara, efek gigitan dan cakaran, rentang waktu yang diperlukan untuk mengubah seseorang.

Lalu di baliknya, rencana kedua yang lebih rumit.

Grace dengan fasih menjelaskan, setelah hanya beberapa menit mempelajari seolah itu adalah laporan yang ia tulis sendiri. "Akuin aja, dengan zombie yang hampir nutupin lapangan, kita nggak akan bisa menang kalau milih konfrontasi langsung, jadi kita manfaatin alarm kebakaran. Di setiap lantai sekolah kampret kita ini, ada 1 alarm. Kalau kita bisa matiin alarm di lantai dasar, dan sebaliknya, nyulut api di lantai 2, itu mungkin bisa jadi jalan keluar."

"Alarm palsu, ya?" Seru Mark mempelajari catatan itu baik-baik. "Buat mancing zombie biar seenggaknya lapangan itu agak lengang?"

Haechan menggeser buku itu supaya dapat membacanya dengan posisi yang benar. "Di mana lokasi alarm di lantai dasar ini?"

Yang mengejutkan, Jaemin tak sungkan memberi jawaban. "Kafetaria. Kalau di lantai 2 ruang guru kan?"

Jeno menanggapi dengan anggukan singkat. "Ya. Itu berarti kita harus bagi tim jadi 2?"

"Jadi 2." Grace mengulangi dengan mantap, diiringi lirikan pada Mark yang berkata bahwa dialah yang bertanggung jawab. "Tim pertama ngurus kafetaria. Mungkin 3 atau 2 orang. Ambil baterai alarmnya, dan selesai. Tim selanjutnya punya tugas buat bersih-bersih di lantai 2 sekalian ngambil kunci, makanya perlu lebih banyak anggota."

Renjun menyimak dengan seksama sambil menyangga dagunya dengan tangan. "Abis itu? Logikanya setelah denger suara, zombie bakal gerak ke lantai 2 kan? Dan kita ... Apa? Lompat dari sana?"

Belum-belum sekujur tubuh Mark sudah terasa ngilu. Melompat dari lantai 2 terdengar seperti percobaan bunuh diri yang dapat berakhir buruk. Biarpun tidak mati一setahunya, seseorang yang berniat mati dengan cara "terbang" setidaknya memerlukan gedung bertingkat 5一tapi beberapa tulang mungkin takkan bisa bertahan dan patah.

Mark, dan anggota lain, menghembuskan napas lega saat Grace menggeleng. "Kalau lantai 2 udah aman, tim kedua harus turun, sembunyi lagi sama tim pertama di sini dan kita serahin sisanya sama orang yang nanti jadi umpan."

Jari kurus gadis itu yang seperti bayi menunjuk tulisan tangan adiknya yang berada agak di bawah, berbunyi,

"Seseorang harus bergerak sendiri."

Lalu, "SIAPA?"

"Si umpan harus mancing zombie, jaga-jaga seandainya para zombie itu malah ngumpul di koridor, karena mereka nggak kelihatan kayak makhluk cerdas di mata aku."

"Oh, ngarahin zombie ke lantai 2?" Tanya Chenle, nyaris menyerupai bisikan. "Terus lompat?"

Grace menatap pemuda itu lama sekali; wajahnya, rambutnya, lantas jaketnya yang belum pernah ia lepas bahkan saat ia tidur. "Dia nggak perlu lompat terlalu tinggi kalau kamu mau ngorbanin jaket mahal kamu."

"Jaket aku?"

"Ya. Kita bikin itu jadi tali darurat. Dan gorden itu?" Grace mendongak pada gorden putih yang sekilas terlihat seperti terbuat dari bulu-bulu burung yang sangat halus. "Gabungin sama itu dan beberapa kain lagi. Ikat, dan si umpan ini bisa jadiin itu sarana yang lebih aman buat turun."

What Makes Us Human ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang