Apa salah satu hal paling sulit dalam hidup ini?
Jika kamu bertanya pada Lee Haechan, jawabannya bukanlah beradaptasi di lingkungan baru, melupakan kekasih tercinta, atau mendapat nilai sempurna di seluruh mata pelajaran, melainkan mengucapkan selamat tinggal pada seseorang yang justru ingin dia pertahankan.
Perpisahan merupakan bagian yang tak terelakkan dari manusia一sedekat nadi, tak pernah terlalu jauh dari kulit. Bahkan yang katanya cinta sejati pun akan terpisah oleh kematian. Tidak ada yang abadi, hidup sejatinya adalah hitung mundur menuju maut yang tak bisa kita hindari. Kita hanya tidak tahu kapan Tuhan akan memanggil atau kapan orang tua, kakak, adik, serta sang pujaan hati meninggalkan kita sendiri.
Bagi Grace Moon, waktunya menjadi kakak Park Jisung mungkin sudah berakhir.
Setelah puas menguras persediaan air matanya sampai mengering, Grace kini berdiam diri seolah sudah mati. Matanya terbuka namun dia tidak bergerak. Dadanya mengembang perlahan namun dia tidak bicara. Haechan takut berita mengenai Park Jisung merusaknya selamanya, maka dia mengasah otak mencari topik pembicaraan semata-mata agar Grace tertarik bersuara.
"Grace? Aku penasaran," kata Haechan pelan, berusaha memberi mereka privasi dari 2 orang lain yang juga tidak beruntung menghuni gudang ini. "Kenapa kamu nyebut inhaler obat aneh?" Topik yang payah, memang. Haechan bersumpah ia bisa mengarang sesuatu yang kreatif bila perutnya terisi penuh dan suasananya mendukung.
Grace tertawa singkat, dan yang dimaksud singkat adalah benar-benar singkat. Tawanya menghilang secepat nyala api lilin yang tertiup angin kencang. "Karena obat itu punya 2 rasa. Waktu umur Jisung 7 tahun, aku baru tahu dia sakit. Aku tanya gimana rasanya inhaler buat dia, dan dia bilang itu manis. Tapi waktu aku nyoba, ternyata pahit."
"Kamu iseng nyobain obatnya?"
"Aku kira rasanya mirip permen."
Haechan merasakan bibirnya melengkung ke atas. "Mungkin aku terlalu tinggi nilai kepinteranmu, sexy brain."
"Kita semua pernah bodoh pada masanya, Pudu."
"Dan bohong?"
Grace langsung mengerti ke arah mana Haechan menggiringnya. Ini danau kejujuran, dan Haechan menantangnya untuk menyelam, sebab sedalam apapun ia menggali, tidak ada jawaban yang dia dapat mengapa Grace dan Renjun sepakat menutupi bangkai dengan setumpuk bunga meski mereka tahu itu tak berguna. "Maafin aku."
"Aku kan nggak nyuruh kamu minta maaf," tegur Haechan.
Kebenaran dihamparkan Grace ibarat selembar karpet merah. "Waktu itu Renjun ketakutan. Aku butuh waktu nenangin dia dan bilang tindakannya nggak salah. Dia ngoceh terus tentang ayahnya. Akhirnya, karena kehabisan akal, aku kasih usul, 'Ren, kita nggak harus bocorin ini ke yang lain. Serahin bagian bohongnya ke aku'. Dia setuju."
"Ada apa sama ayahnya?"
"Ayah Renjun itu dokter."
"Ah," seru Haechan, paham. Tiba-tiba semuanya menjadi jelas, seperti membaca sebuah riddle dan menyadari ada petunjuk yang ia lewatkan. Pantas saja bocah pirang itu gemar menawarkan bantuannya pada siapa saja yang membutuhkan. Beberapa buah memang jatuh sangat dekat dengan pohonnya. "Satu pertanyaan lagi一rambutmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanfictionJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...