Acara jalan-jalan itu tidak seromantis kedengarannya.
Seperti kata Jaemin, mereka hanya mencari pakaian dan mereka melakukannya tanpa kegaduhan. Grace tidak bicara padanya一tidak banyak一sedangkan Mark punya begitu banyak hal untuk dibicarakan sampai semuanya terbenam di bawah pasir keraguan. Manakala Mark mengajak Grace menambah koleksi pakaian wanita di lemari mereka dan Grace setuju, sejujurnya dia tidak merencanakan mereka menjalaninya dengan tidak saling bercakap-cakap.
Mark bertanya-tanya apakah ini pula yang terjadi ketika Grace bersama Haechan. Apakah Haechan cukup cerdik menemukan topik yang menarik? Apakah mereka memasrahkan diri dalam kesunyian lantas membiarkan segalanya mengalir apa adanya? Namun yang bisa diingat Mark adalah kenangan saat keduanya duduk di motor yang sama, lengan Grace di perut Haechan, dan mereka tertawa. Mereka tertawa. Itu sesuatu yang belum bisa Mark capai kendati dia dan Grace telah cukup lama berada dalam satu atap butik yang sama.
"Gimana menurutmu?" Mark merentangkan sebuah atasan berwarna ungu dengan hiasan kancing yang mirip mutiara.
Grace mencibir. "Terlalu norak buat seleraku, tapi ukurannya pas buat Karina dan dia mungkin suka."
Mark memasukkannya ke ransel yang dia bawa. "Kalau ini?" Selanjutnya adalah rompi bergaris-garis biru.
"Lumayan." Grace sendiri sibuk dengan ransel lain, mengisinya dengan celana banyak-banyak. "Aku suka."
"Kalau Haechan?" Grace berhenti mengepak. Mark pura-pura asyik melipat. "Kalau Haechan, kamu suka?"
"Apa ada alasan aku harus nggak suka dia, Mark?"
Kalimat itu membuka ke sebuah tikungan percakapan baru, yang lebih serius, dan Mark tahu dia tak bisa mundur. "Ada apa sebenernya antara kamu dan Haechan, Grace? Maksudku, kamu bahkan rela ninggalin adikmu buat dia."
Riak-riak kekesalan mengusik danau ketenangan Grace yang semula datar. "Itu bukan salah Haechan. Aku bukan Wendy dan dia bukan Peterpan yang ngajak aku kabur lewat jendela."
"Jadi kalian siapa?" Satu pertanyaan yang bermakna sangat luas diajukan Mark.
"Cuma ...." Grace, si ahli debat, kesulitan membalas一ini momen yang sama langkanya dengan hujan es di negara beriklim tropis. Gantungan baju dalam kurungan jari jemarinya agak tertekuk, hasil dia bengkokkan. "Cuma orang-orang yang nyari kebebasan?" Pungkasnya akhirnya.
Mark mengayunkan tubuh ke atas meja kasir. Pegawai yang semestinya menjaga meja itu terbaring di sisi lain, kepalanya mengucurkan darah. Butik tersebut tidak jauh dari rumah, terletak di area pertokoan yang terbengkalai dan sepi, sehingga Mark tidak khawatir teriakan salah satu dari mereka akan mengundang perhatian. Bagi Mark, bukan pakaian, dia lebih membutuhkan butik itu sebagai tempat untuk mendiskusikan urusan yang belum selesai一dan menuntaskannya. "Bagian mana dari peraturanku yang bikin kalian ngerasa nggak bebas? Atau ini ada hubungannya sama hari dimana kamu dan Renjun pulang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanfictionJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...