"Kamu tahu, Jisung?"
Duduk di aspal yang condong ke sisi yang membahayakan, Jaemin dan Chenle sedang membongkar tas-tas mereka, membuang apa saja yang tak diperlukan一plastik pembungkus makanan, pakaian anak-anak yang tidak sengaja terbawa, sapu tangan一agar nantinya beban mereka lebih ringan. Jeno ada di depan, setengah tubuhnya membungkuk ke mesin mobil, berusaha menemukan apa yang salah. Sedangkan Renjun berada di kursi pengemudi, asyik memeriksa tas sekolahnya sambil menguping.
"Rumah itu bukan tentang tempat, tapi orang, dan buat nyari rumah yang tepat, seringnya kita butuh perjalanan panjang."
Ada pula Mark Lee dan Jisung, yang duduk di penutup bagasi mobil, namun tidak saling pandang saat berupaya menerima keadaan.
"Aku nggak akan bilang aku ngerti keputusan Grace," lanjut Mark murung. "Tapi aku bakal nyoba nerima itu, karena kadang-kadang, yang bikin kita betah di suatu rumah bukan sekedar keamanannya, tapi juga kenyamanan."
"Jadi Noona nggak nyaman sama kita?"
"Nggak一" awalnya Mark ingin menjawab, lalu setelah pertimbangannya sesaat, dia membatalkannya. "Mungkin..."
Dua orang yang ditinggalkan itu kompak tertunduk muram. Mark, yang muak dengan dusta, dan Jisung, yang memperoleh jawaban yang hanya semakin menyakiti hatinya. Usai kemarahannya padam, Mark diterjang banjir kesedihan. Tidakkah Grace memikirkan ini一orang-orang yang ia buat menderita一sebelum melompat ke motor bersama Haechan? Grace terlalu tergesa-gesa menetapkan pilihan. Dia menukar banyak hal demi seorang pemuda yang nyaris tidak ia kenal.
Seakan bisa membaca pikirannya, Jisung kembali bicara mengumumkan keprihatinan yang identik. "Tapi gimana kalau mereka kenapa-napa? Kota nggak aman buat tim yang cuma terdiri dari 2 orang. Aku takut mereka nggak bisa bertahan."
"Oh, kalau mereka pasti bisa." Sambil terus membalik halaman-halaman bukunya, Renjun berucap semerdu cuitan burung-burung di musim semi. "Haechan tahu banyak tentang senjata, dan kakakmu cerdas. Mereka serasi."
"Yah, dan mereka udah buktiin itu kan?" Sambung Jaemin dari posisinya di tengah jalan. "Gila, aku masih nggak ngerti gimana caranya mereka ngebobol kantor polisi tadi, padahal peluru Haechan mestinya udah sisa sedikit."
Tadi, selisih beberapa detik, mereka ber-6 bergegas pergi mengantisipasi kemungkinan dikepung zombie. Sejujurnya Mark ingin memanggil Grace, menjangkaunya dengan setiap sel di tubuhnya, tapi suaranya tertahan sebelum sempat keluar. Keputusasaan menjegal usahanya, didukung oleh kesadaran tentang betapa sia-sia dan terlambat upayanya meminta Grace tinggal. Grace memilih pergi一bahkan Jisung tak mampu mencegahnya.
Terdiam sebentar, anak itu mengukir pola-pola abstrak tak beraturan di celananya. "Berarti kita nggak akan nyusul mereka?"
Berat sekali rasanya mengangguk, namun itulah yang Mark lakukan. "Jisung," ujarnya hati-hati pada bocah yang dipaksa dewasa terlalu cepat itu. "Ini beda dari kasus Renjun. Masalahnya aku yakin mereka nggak mau disusul."
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
Fiksi PenggemarJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...