Na Jaemin dengan perlahan menghapus darah dari hidungnya, tak tahu lagi harus melakukan apa.
Berpencar? Mencari bersama-sama? Berduka? Ada begitu banyak hal yang harus dilakukan, dan dia justru tidak tahu harus mengawali dari mana. Seumpama ada jawaban di suatu tempat, tertulis entah di mana, Jaemin pasti akan mencarinya. Dia rela menempuh perjalanan sejauh apapun untuk mencarinya. Tetapi langit biru, darah yang mengering, dan seluruh material yang menyusun bangunan di hadapannya kompak membisu, membiarkannya terperangkap di labirin kebingungan.
Satu-satunya orang yang bisa dimintai pendapat malah mengunci mulutnya, kalah oleh rasa bersalah. Jaemin berpaling ke samping, tempat Jeno duduk sembari menyangga kepala dengan kedua tangan. Yap, lupakan saja. Jaemin berdecak samar. Mereka tidak bicara lagi sejak memindahkan Ryujin ke sebuah mobil Dodge hijau yang terparkir di tempat parkir utama, lengkap dengan selimut terbaik yang mereka temukan. Meski Ryujin tidak akan pernah kedinginan lagi. Tidak akan pernah merasakan apa-apa lagi.
Setelah itu Jeno duduk bersandar di ban Dodge, diam, diam, dan diam. Jeno sedang melakukan apa yang dalam hati Jaemin sebut sebagai "menarik diri"一kegiatan sia-sia dimana Jeno menghukum dirinya sendiri dengan kesunyian. Tidak pernah berguna. Namun, di saat seperti ini, Jeno juga tidak pernah mendengarkan nasihat dari siapa-siapa.
Mau tak mau, Jaemin-lah yang wajib mengambil keputusan bagi mereka berdua. "Bangun." Dia menepuk punggung saudaranya. "Ayolah, bro. Kita bisa duduk-duduk nanti kalau itu maumu. Tapi ada beberapa hal yang lebih penting dari itu."
Pandangan Jeno jatuh pada tubuh tak bernyawa di kursi belakang Dodge. "Ryujin meninggal," ucapnya dengan suara hampa.
"Ya, aku tahu. Dan aku juga tahu kalau Ryujin masih hidup, dia bakal marah ngelihat kita cuma diem, bukannya nyari Mark-hyung, Renjun, Jisung, atau Haechan dan Grace." Tumit sepatu Jaemin mengetuk-ngetuk tanah, risau. "Kita belum ketemu mereka, inget? Padahal mereka alasan utama kita ke sini."
"Gudang. Seharusnya mereka ada di gudang. Itu yang dibilang Sangyi ke Mark-hyung."
"Mungkin Sangyi bohong."
"Mungkin kita nggak tekun nyarinya." Jeno mengulurkan tangan dan Jaemin meraihnya, membantunya bangkit. Mereka masuk kembali, menjejakkan kaki ke lantai lapangan futsal yang licin. "Aneh."
"Apanya?" Setiap gerakan berlebih di tubuh bagian atasnya membuat Jaemin meringis. Bahunya sakit bukan main.
"Tempat ini berantakan, tapi lumayan bersih. Maksudku, ruangan-ruangan yang aku periksa keadaannya nggak terlalu kacau."
"Maksudmu tempat ini terlalu bersih buat ukuran lokasi pembunuhan?"
"Persis. Seandainya Aru udah bunuh Haechan dan Grace, mestinya ada satu-dua barang peninggalan mereka. Sepatu Grace, misalnya. Atau baju Haechan." Jeno mengernyit. "Orang gila itu kan suka bikin tato."
"Mungkin udah diberesin."
"Tetep aja ...." Jeno melongok ke lokasi Aru pertama kali muncul dan ternganga, nyaris tak mempercayai penglihatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanfictionJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...