Pagi, fajar menyingsing.
Getaran yang menjalar dari ponselnya mengusik Park Jisung yang terlelap, dan dia bersyukur, sebab merasa sudah mencurangi mimpi buruk yang belakangan rutin menyambangi. Apa yang akan dia lakukan hari ini? Jisung duduk tegak, kebingungan. Dipandangnya ponselnya yang masih bergetar, lantas mematikannya. Itu adalah trik yang dia baca dari buku. Alarm bagi orang-orang tunarungu dirancang tanpa lagu, hanya getaran, agar bisa memancing mereka bangun tanpa mengganggu orang lain. Dan Jisung menirunya meski telinganya baik-baik saja.
Lalu dia ingat一apa yang terjadi, rencananya, alasannya.
Takut-takut, Jisung menengok ke bawah. Tempat tidur yang dia gunakan tidak besar, jadi rekan sekamarnya terpaksa beristirahat di lantai, namun Mark mengaku tidak keberatan. Mark mendengkur pelan, pulas. Untungnya. Jisung sempat cemas karena setahunya Mark tipe orang yang gampang terjaga. Kemarin saja dia bangun saat sedang tidur dalam posisi duduk dan kepalanya tidak sengaja terbentur dinding. Tak salah lagi, dia lelah, dan Jisung tidak menyalahkannya. Mark sudah bekerja keras.
Sambil berjinjit, Jisung melangkah mengitarinya. Gerakannya kikuk, dia tidak pernah harus mengendap-endap. Tunggu, apa Mark bergerak? Tidak, matanya masih terpejam. Jisung bergegas mempercepat langkahnya, melintasi kamar kakak-kakak kembar dan Renjun, juga Ryujin yang sendirian.
Tak ada waktu untuk mandi. Terlalu berisik. Jisung sekadar minum sebentar dan keluar. Di kursi teras, dia mendarat. Dirabanya kantong celananya. Inhaler? Ada. Gelang kakaknya? Ada. Kertas catatan? Ada. Kertas catatan inilah yang tidak dia ceritakan saat interogasi, dan memberikan penjelasan yang separuhnya dikarang-karang. Rasa bersalah menusuk hati Jisung, namun apa boleh buat? Pilihannya amat terbatas.
Di kertas itu, tertulis dalam tulisan tangannya versi berantakan, terdapat delapan alamat tempat-tempat yang menjual makanan.
Dia mencarinya sendiri kemarin, tanpa bantuan siapa-siapa, dan dia bangga, kendati itu tak berguna kalau dia tidak bertindak. Bertindak, seperti kata Haechan. Dia pasti bisa. Haechan telah mengajarinya banyak pelajaran berharga. Berbekal pisau dari dapur, Jisung berangkat mencari kendaraan. Embun pagi itu masih kalah dingin dari ekspresinya.
Terlampau fokus pada misi, Jisung tidak sadar, seseorang mengawasinya dari dalam rumah dan mengikutinya diam-diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanfictionJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...