Cho Jae Rim senang menjadi pusat perhatian.
Seminggu yang lalu, Rim berpendapat tak ada一oh, sama sekali tak ada一sesuatu yang lebih menggairahkan dari menjadi pusat perhatian. Namun, di sinilah dia, memandang bukti kesalahannya. Si pirang kecil tertelungkup di lantai, berusaha menjegalnya dengan jemarinya yang mulus tanpa cacat. Hidup di tengah bencana separah ini dan mampu mempertahankan jemarinya tetap bersih? Bajingan. Dasar bajingan. Itu sudah cukup membuat Rim membencinya. Rim tahu satu hal; dia akan sangat menikmati saat mematahkan jari-jari pemuda itu nantinya.
Wajah sang kapten terkubur di lengannya. Dia tidak bergerak. Mungkin pingsan karena kehabisan darah atau semacamnya. Rim tidak peduli, tidak pula tertarik padanya.
Sedangkan bocah yang megap-megap itu? Wah, wah, dia lain cerita.
Bocah itulah yang menyadarkan Rim mengenai fakta tersembunyi dirinya yang ternyata menyukai balas dendam. Tak jadi soal dia tidak mirip dengan kakaknya, yang Rim inginkan hanya membalas一gadis pelacur itu, kata-kata dari mulut kotornya. Sialan, terutama kata-katanya! Rim benci diremehkan. Seandainya si pelacur dan si pencopet masih hidup, Rim akan berbaik hati menyuguhkan mereka tontonan berkualitas. Tapi keduanya pasti sudah mati, dan bocah itu harus mati juga. Demi kepuasannya.
Dengan gerakan asal-asalan, Rim menodong kepala bocah itu memakai FAMAS. Dia tertawa. Ini selalu jadi bagian favoritnya一menyaksikan seseorang mengkerut ketakutan. "Ada permintaan terakhir, bocah?"
Bocah itu sepertinya tidak punya. Menilik kondisinya, tak banyak yang bisa dia lakukan. Untuk berjalan tegak saja pertama-tama kamu butuh kaki, lalu paru-paru yang sehat. Bocah itu rusak, dan Rim jijik pada segala sesuatu yang rusak.
"Selamat reuni sama kakakmu."
Maka, Rim menekan pelatuk dengan tekanan lembut tetapi ampuh. Permohonan tolol dari si pemuda tolol dia abaikan. Sebutir peluru meluncur diiringi gelombang tawanya yang kedua. Rasanya lebih seperti merobohkan menara dari kartu domino. Begitu selembar kartu diusik, hal selanjutnya yang terjadi adalah serangkaian reaksi berantai.
Sesuatu mengakibatkan Rim kehilangan pijakan, seolah bangunan miring, dan dia tergelincir. Lantai bagai bergetar menerimanya, gumpalan otot seberat 80 kilo, dan peluru yang dimaksudkan untuk Jisung mengoyak langit-langit sebagai buntut Rim yang tidak memperoleh sudut tembak yang pas.
Rim berbaring telentang, tercengang, lebih dari sekadar kebingungan. Otaknya lamban. Dia tidak dapat segera memproses data bahwa baru saja一
一Mark telah menyapu kakinya dari bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanfictionJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...