Ketika malam tiba, Huang Renjun dan Grace Moon masuk ke rumah.
Renjun berasumsi mandi akan membantu menjernihkan otaknya. Jadi itulah yang ia lakukan. Masa depan masih buram. Apapun yang terjadi nanti, jika ia ditakdirkan mati, paling tidak ia akan mati dalam keadaan bersih.
Setelahnya, dengan rambut pirang wangi dan perban baru di lengannya, Renjun duduk di ruang tamu bersama Grace, mendiskusikan cara terbaik menuju Uinam. Renjun pikir mungkin akan lebih baik bila menyisir rute lama mereka, istilahnya berjalan mundur, dengan harapan para zombie sudah berpencar atau menghantui tempat lain.
Kota tidak aman. Berputar-putar tanpa tujuan hanya berlandaskan tebakan bukan ide bagus. Selain itu, mereka tidak punya kendaraan dan kalaupun punya, harus mengirit bahan bakar. "Gimana menurut kamu?"
"Boleh, kita coba rencanamu." Grace setuju. Sumbangan tunggalnya dalam pembicaraan sekedar saran tempat di mana mereka kemungkinan bisa memperoleh motor. Selebihnya, dia bungkam.
Ada yang mengganjal pikirannya, jadi Renjun memutuskan bertanya. Seperti kata leluhurnya, bertanya akan membuatmu bodoh selama semenit, tapi menyimpan pertanyaan itu akan membuatmu bodoh selamanya. Walau dalam kasusnya ia lebih ke penasaran. "Ada apa? Kenapa kamu nggak semangat?"
Grace menghela napas. "Apa kamu yakin mereka masih di Uinam?"
Astaga, Grace punya masalah serius dengan sikap pesimisnya. "Kenapa nggak? Hei, aku mungkin nggak deket sama anggota lain, tapi aku kenal Jeno dan Jaemin, dan aku tahu persis mereka setia kawan."
"Kita udah hilang dua hari, Renjun. Itu terlalu lama."
Atau mungkin tidak. Kalau dipikir-pikir, ada bagian dari perkataannya yang masuk akal. Sekarang Renjun jadi ikut meragu. "Yah, kita kan nggak ngerencanain kecelakaan dan sakit. Mark-hyung juga kelihatannya baik. Apa kamu kira mereka bakal nunggu kita?"
"Entah."
"Kamu yang lebih kenal dia, Grace."
"Apa kamu akrab sama semua teman sekelasmu, Renjun?"
Skakmat. Panah sindiran Grace tidak pernah melenceng dari sasaran. "Hm, nggak juga sih..."
Dengan risau, Grace berdiri dan berjalan ke jendela. Postur tubuhnya yang mungil dan efek semburat cahaya jingga dari mentari yang hendak berpamitan membuatnya tampak bagai peri malam yang tercipta dari serbuk imajinasi. "Aku suka Mark. Dia lucu. Tapi bahkan kalau aku sendiri diminta milih antara 2 orang, dan一"
Saat itulah Renjun mendengarnya.
Suara ketika ban-ban mobil yang padat menggilas aspal. Suara yang, tak salah lagi, muncul ketika mekanisme apapun dari mesin bekerja dan mendorongnya untuk berputar menuju ke ... Arah sini. Renjun cepat-cepat melompat, memangkas jaraknya dengan Grace lantas menyambar bahunya sampai mereka berjongkok di bawah batas bingkai jendela. "Jangan berisik. Ada orang yang bakal dateng."
Mata Grace membeliak kaget, dia terlihat heran.
Tapi Renjun benar-benar mendengarnya. Pendengarannya tajam, dan sejauh ini, telinganya belum pernah mengecohnya. "Percaya aja sama aku, oke?"
Akhirnya gadis itu mengangguk dan Renjun melepaskannya.
Tak perlu menunggu lama, sebuah mobil Mercedes putih parkir persis di halaman rumah, hampir menabrak dan melumat motor Renjun. 2 pria kekar keluar dari masing-masing pintu depan, yang pertama berkacamata dan yang lain berambut gimbal. Kursi belakang penuh dengan berbagai macam makanan, sehingga rekan mereka, pria ketiga, menunggangi motor Ducati merah yang di situasi lain akan menuai kekaguman.
Monster yang cantik. Tampilannya Gagah sekali. Pasti asyik andai Renjun diizinkan mengendarai motor itu sebentar, merasakan deruman mesinnya, joknya yang halus, tarikannya yang mulus...
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanfictionJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...