Mandi tengah malam itu tidak enak.
Walaupun saat itu belum tepat disebut jamnya Cinderella, tapi nyaris tidak ada bedanya. Dan dibanding berkutat dengan kaus putih yang sudah berubah warna menjadi merah 5 menit lebih lama, Mark Lee lebih suka mengguyur tubuhnya dengan segalon air dingin. Sangat disayangkan air hangat tidak termasuk layanan istimewa di rumah itu. Selalu ada ketidaksempurnaan, selalu ada kekurangan, mengikutimu kemana-mana seperti kulit kedua yang tak bisa dilepas.
Setelah merasa lebih segar, Mark duduk di ruang tamu, mengikuti jejak Jeno, Jisung dan Chenle yang telah selesai membersihkan lantai dari darah. Rumah terasa sepi. Udara pekat oleh bau anyir darah yang menusuk rongga hidung.
"Mana Haechan dan Jaemin?"
"Di luar." Jeno mengarahkan jempolnya ke pintu yang terbuka. "Ngurus mayat-mayat."
Mark terdiam, memasang telinga dengan seksama, namun tak bisa mendengar apa-apa. Entah 2 anggotanya itu terlalu jauh atau secara ajaib mereka kompak tidak ingin memecah kesunyian malam. "Mereka nggak berantem?"
"Mungkin lagi males."
"Oh."
Satu lagi kejutan yang mencengangkan. Tinggal seatap dengan orang yang tidak kamu suka biasanya akan mengantarmu ke 2 kemungkinan; kamu dan dia menjalin keakraban, atau sebaliknya, kamu dan dia semakin memupuk kebencian. Dan karena adu mulut itu melelahkan, barangkali diam-diam Haechan sudah memilih jalan damai.
Jeno tersenyum, bulan sabit khasnya terbentuk mengiringi. "Bahkan Haechan pun bisa berubah, pelan-pelan."
Lagipula, siapa bilang berkelahi itu tidak butuh energi?
Kalau dipikir-pikir, akhir-akhir ini Haechan sudah jarang melontarkan kalimat hinaan atau sindiran yang di sekolah ia sebar seperti orang lain membagikan permen di hari Halloween. Dia bersedia mengajari Renjun caranya mengisi ulang peluru saat Renjun meminta, dan ketika Mark bertanya, dia menjawab dengan lugas tanpa berputar-putar.
Memang, perubahannya tidak drastis seperti sulap dalam film para penyihir, bahkan sebenarnya hampir tidak kentara, tapi ya, Jeno benar; dia sudah berubah.
Sedikit demi sedikit.
Selang beberapa menit kemudian, yang dipikirkan tertangkap indra penglihatan. Na Jaemin berjalan masuk, Lee Haechan juga, menyeret sekop Grace di sepanjang lantai yang mengirimkan bunyi tidak nyaman ke telinga. Sekop itu ia letakkan di belakang pintu, saat ia memilih untuk duduk. "Nah?" katanya. "Lawakan macam apa yang mau kalian omongin?"
"Mark-hyung." Tatapan Jaemin tampak sendu. "Apa harus?"
Sebagai permulaan, tahu ini takkan mudah, Mark meregangkan jari-jarinya. "Aku juga nggak mau ngelakuin ini, tapi bisa aja di luar sana ada zombie lain yang bakal datengin kita. Mungkin zombie-zombie itu udah dalam perjalanan sekarang. Tadi 3, gimana kalau selanjutnya 13? Atau 23?"
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanfictionJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...