38. Kita Berteman I

941 211 65
                                    

Di sudut malam yang remang-remang
Pemuda berbaju lusuh itu duduk sendirian
Deraan sepi mendorongnya berdendang menghibur diri
Hingga tak sadar di ujung terowongan ada seberkas sinar yang menanti
"Apa itu?" Dia bertanya, lirih dan pelan
Terlalu lama dalam gelap membuat dia tak mengenali cahaya
Terlalu lama seorang diri membuat dia lupa bagaimana rasanya punya teman.

Lee Haechan takkan bilang dia punya jiwa seorang pujangga, tapi saat itu, di atas jok motor Ducati yang telah dikeringkan, ia mendapati dirinya merangkai sajak-sajak sederhana yang entah bisa disebut puisi atau bukan. Ia dan buku sejujurnya jarang akrab. Buku jelas lebih cocok berteman dengan pemuda-pemuda seperti Mark Lee yang memenuhi kriteria cowok culun dari A sampai Z atau Park Jisung.

Hanya saja, ampun deh, kalau ia memiliki buku di tangannya, ia pasti sudah tamat membacanya 2 kali saking lamanya Grace berdandan. Hal ini memberitahunya bahwa terlepas dari perilaku Grace yang bisa sangat sadis, dia tetaplah gadis yang amat feminin.

"Udah belom?"

"Sebentar." Sahutan samar terdengar dari dalam rumah. "Aku lagi nyari iket rambut."

"Lammmaaah."

"Jangan cerewet ya, cebol!"

Heran sekali Haechan. Bibir Grace agaknya bekerja lebih sigap dari matanya. Diminta bersiap-siap dia lambat, diminta meledek dia jagonya. Namun Haechan tak menyahut sebab sadar diri, di sanalah letak kesamaan mereka berada. Duduk manis macam murid yang rajin, Haechan menarik napas panjang. Aroma tanah basah yang bercampur dengan semerbak wangi bunga memenuhi paru-parunya. Hujan paling deras atau badai paling dahsyat pun pada akhirnya menyisakan pelangi paling cerah.

Sayangnya, dasar Haechan, dia memang tidak terkenal karena kesabarannya. "Serius, Grace, kamu nyari iket rambut sambil ngitung bubuk kopi, ya?"

Parahnya, Grace baru keluar 5 menit kemudian dengan wajah berseri-seri tak berdosa. "Nyantai dong jadi orang!"

Terlanjur kesal, Haechan terpikir sebuah rencana jahat. Saat gadis berkepang satu yang disampirkan di bahu kanannya itu lewat, dia sengaja menjulurkan kaki di jalurnya. Tapi Grace tak termakan jebakan itu. Grace malah melompati kaki Haechan dan balik menendang betisnya. "Aduh!"

"Rasain," ujarnya tanpa belas kasihan. "Yuk, berangkat."

Si pemuda cemberut, sempat membetulkan posisi tas senjatanya sebelum tancap gas. Ducati melaju mulus di sepanjang permukaan garis putih putus-putus yang membelah jalanan menjadi dua. Daun-daun berterbangan terhempas angin yang mereka timbulkan. Setengah tangki bensin dari Lexus di garasi rumahnya masih sanggup mengantar keduanya ke titik X pertama yang tercantum dalam peta.

Ini dia, minimarket terpencil di Joongyi-dong.

Membangun bisnis di daerah ini sejatinya tidak terlalu menguntungkan, namun setiap tahun, minimarket itu mampu selamat dari ancaman kebangkrutan. Bagi penduduk sekitar, tempat ini adalah tempat berbelanja kebutuhan sehari-hari. Bagi Haechan, tempat ini adalah penyelamat kala ia jalan-jalan terlalu jauh dan tersesat. Kali ini, dia menghitung, 3 pegawai minimarket termasuk kasir ramah yang pernah mengajaknya bercakap-cakap telah berubah.

Mengaduk-aduk tasnya, Haechan menarik keluar sebuah Glock 18 yang terisi penuh dan menyerahkannya pada rekannya. "Kamu yang urus."

Karena pistol itu merupakan pistol yang sudah ia kenali cara penggunaannya, Grace bisa memakainya dengan mudah. 3 kepala sukses ia hancur leburkan tanpa melenceng dari sasaran. "Gimana?" Dia terdengar sangat bangga pada dirinya sendiri.

Haechan tidak tahan untuk tidak tersenyum. "Bagus, Moon. Kamu nggak perlu diajari. Mungkin ntar kita bisa langsung latihan beladiri?"

"Nggak masalah. Apa kamu belajar semua itu dari penjara, Haechan?"

What Makes Us Human ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang