34 JAM TANPA AIR
Jung Sungchan tertidur lagi.
Kini, tidur bukanlah kegiatan yang dia kerjakan semata-mata demi kebutuhan jasmani, melainkan metode melarikan diri yang dia nilai paling efektif. Dengan tidur, Sungchan akan lupa一pada kemalangan nasibnya, darah temannya yang tumpah, dan keluarga yang hilang. Hanya dalam mimpi lah dia aman, tempat segalanya menjadi mungkin, tak terkecuali angan-angan yang sejatinya sia-sia. Di menit-menit akhir sebelum dia pulas, Sungchan berdoa seluruh kekacauan ini akan menemukan jalannya kembali ke keadaan normal, namun dia selalu bangun mendapati Tuhan belum mengabulkan doanya.
Menurut perkiraan Sungchan, paling tidak satu setengah hari sudah terlewati, gejala dehidrasinya semakin menjadi-jadi. Dia tak lagi ingin buang air, kadar air di tubuhnya pasti menyusut drastis. Akibatnya, ginjal dipaksa bekerja keras, menghentikan sebagian tugasnya membersihkan aliran darah. Kulit kering dan mual adalah dua dari beberapa efek sampingnya. Lalu pada jam-jam berikutnya, tubuh akan lebih gencar memprotes, memohon air, air, air, agar bisa tetap berfungsi dengan baik.
Sambil menggigit bibir, Sungchan menyentuh kepalanya yang pening. Dia tak percaya berapa banyak waktu yang dia perlukan untuk duduk dan menggapai kotak jus, tapi jusnya telah habis.
Patah semangat, dia melempar kotak tersebut sembarangan. Kemampuannya sebagai point guard membuat benda itu melayang terlalu jauh dan mengenai Karina, lantas menuruni punggungnya seperti perosotan. Gadis itu tidak menanggapi. Sesuatu yang terjadi pada Haechan mengambil alih fokusnya.
"Kenapa dia?"
Karina menatapnya dengan air mata menggenang. "Haechan. Dia nyaris nggak napas."
Sekujur tubuh Sungchan kontan membeku ketakutan. Dia mendongak pada Grace, namun Grace berdiri dua langkah darinya, bersandar santai tanpa memperlihatkan kepedulian. "Kamu yakin? Mungkin dia cuma ... Napas terlalu pelan."
"Ya, aku一" Karina berhenti sejenak dan menyeka pipinya. Dia menempatkan jarinya di bawah hidung Haechan selama beberapa detik, lalu ketika tak ada hasil, beralih memposisikan telinganya di dada pemuda itu. "Aku udah coba ngasih napas buatan. Berguna atau nggak, pokoknya aku harus ngelakuin sesuatu."
Haechan terkapar di lantai, diam tanpa pergerakan. Lehernya terkulai miring, seolah melambangkan peluang hidupnya yang menipis. Tepi-tepi luka di kakinya membengkak, sekarang tidak sekadar mengeluarkan darah. Kulitnya begitu pucat tak ubahnya selembar kertas yang gampang terbakar. Kemudian lenyap. Bibirnya, Sungchan perhatikan, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda dia bernapas.
"Karina?"
Karina, yang biasanya bersikap tenang, yang di Hari Itu menggandeng Giselle erat-erat tanpa menoleh ke belakang pada kumpulan monster yang mengejarnya, kini tak dapat menyembunyikan kepanikannya. "Haechan? Ayolah, Haechan."
Haechan belum sadar juga.
Bosan jadi penonton, Sungchan meraih pergelangan tangan Haechan. Dua jarinya, telunjuk dan tengah, diletakkan di jalur yang dia duga sudah benar. Jalur yang dilintasi pembuluh darah arteri, supaya dia bisa mengecek denyut nadi. Sungchan menekan dalam-dalam, sembari berupaya mengingat-ingat, berapa jumlah denyut nadi yang wajar bagi remaja menjelang dewasa?
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanfictionJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...