Cahaya mentari pukul 1 siang lebih 49 menit menyengat kulit Mark Lee, membakarnya dengan suhu rata-rata dalam perjalanan menuju ke barat. Di belakangnya, siluetnya jatuh di atas tanah yang mulai mengering, dengan efek tambahan bayangan sebilah pagar kayu yang menempel di punggung, sehingga menciptakan ilusi dia memiliki sepotong sayap berujung runcing. Mirip peri, makhluk mitologi dalam buku cerita anak-anak yang masih punya segudang mimpi.
Akhir-akhir ini Mark tak banyak bermimpi. Tidak berani. Kamu tidak bisa menanam semangka di gurun yang gersang, jadi sia-sia memimpikan sesuatu yang mustahil diharapkan. Lagipula waktunya habis untuk memikirkan hal-hal seperti, di mana mereka akan bermalam? Sampai kapan bensin bertahan? Dan kini, yang tak kalah penting, apa arti barisan huruf X di peta Haechan?
Pintu pagar di sebelah Mark terbuka. Jeno berjalan dengan langkah-langkah panjangnya yang khas lantas bersandar di sebelahnya. Bobot tubuhnya memberi tekanan ekstra dan pagar itu berkeriut nyaring memprotesnya. "Mau ngomongin apa?"
Mark yang lega isyaratnya dipahami di meja makan tadi menggoyang-goyangkan kaki menginjak rumput-rumput pendek yang tak bertanggung jawab terhadap stres di kepalanya. "Kamu nggak bisa basa-basi?"
"Nggak. Makanya Jaemin yang punya banyak pacar. Jadi?"
"Aku mau ngecek catatan Haechan, di mulai dari X yang pertama."
"Sendiri?"
"Ya, survei lokasi, dan kalau aman, sekalian meriksa."
Jeno melemparkan pandangan tidak setuju. "Jangan sendiri. Bawa Jaemin atau Renjun. Atau aku bisa ikut?"
"Nggak." Tawarannya ditolak mentah-mentah, tapi bukannya tanpa penilaian yang cermat. "Jangan. Aku punya tugas lain buatmu."
"Ya?"
Barangkali ini tidak adil, Mark meminta karena ia tahu Jeno takkan berkata tidak. Si atlet ini boleh-boleh saja disebut jagoan menyangkut ketangkasan; dia mampu mengangkat sepeda tanpa kesulitan, berdiri dalam posisi handstand di atas hoverboard, dan melakukan berbagai macam gerakan akrobatik semudah orang lain berkedip.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanfictionJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...