11 tahun silam, di suatu musim panas terik ketika suhunya naik sangat tinggi sampai mengubah ruangan tak ber-AC menjadi oven raksasa, Mark Lee kecil bangun dari tidurnya dan mendapati sesuatu yang ganjil.
Salah satu gigi seri depannya bergoyang-goyang saat disentuh dengan lidah.
Gigi itu jadi seperti buah yang matang, bergelantungan lemah di dahan pohonnya dan terancam jatuh ke tanah hanya karena belaian angin yang paling ringan. Tapi Mark, yang mengenakan piama bergambar bebek, sejujurnya tidak memikirkan buah. Dia justru teringat Nenek Shim, seorang pensiunan guru yang kerap memberinya permen bonus petuah-petuah bijak. Usia Nenek Shim menginjak 72 tahun, dan dia kehilangan beberapa giginya, sehingga kalau bercakap-cakap, Mark sering tidak paham berkat pengucapannya yang kurang jelas.
Apakah dia juga akan seperti itu?
Secepat kilat Mark melompat dari ranjangnya. Dia pergi menghadap kaca dan memeriksa giginya dengan seksama. Gawat, ini sih hampir copot! Belakangan gigi yang satu ini memang berulah, namun ayah berpesan ia tidak usah cemas. Ada kaitannya dengan proses pendewasaan, katanya. Namun proses macam apa yang membuatnya ompong begini?
Mark panik. Pagi hari yang tenang di rumah keluarganya mendadak ramai oleh teriakan. Karena tidak tahan, dia melakukan apa yang akan dilakukan anak berumur 7 tahun bila ketakutan; Mark menjerit memanggil ibunya. "MOM!"
10 menit kemudian, setelah krisis berhasil ditangani, Mark duduk bersama orang tuanya di perpustakaan. Sementara Mark menyesap jus semangka, ayahnya berkutat dengan benang yang biasa digunakan ibunya menjahit pakaian.
"Kamu bikin heboh aja." Ayah menggeleng-geleng. "Gigi yang tanggal itu normal buat anak-anak. Namanya gigi susu, yang copot supaya gigi yang lebih kuat kebagian tempat. Jadi gigi kamu yang awalnya 20 jadi 32, dan nanti kamu bisa makan banyak makanan. Krauk krauk!" Ayah pura-pura memakan daging yang alot.
"Tapi bisa tumbuh lagi kan?"
"Pasti bisa dong." Ibu, si penulis cerita dongeng, menimpali. "Ntar malem tooth fairy bakal dateng dan ngasih kamu hadiah karena kamu udah beranjak dewasa."
"Nah, ayo buka mulutnya."
"Aaa..." Mark mematuhinya. "Ahah mahu ngapai?" Tanyanya tidak jelas, sebab ayahnya mengikatkan benang di sekitar giginya yang nakal.
Senyum ayah mengawali jawabannya. Banyak orang memuji Professor Lee itu tampan. Lebih mirip bintang film dibanding pengajar, dan Mark senang ia mewarisi banyak fitur wajahnya. "Gigi kamu harus dicabut supaya bisa di ambil peri gigi. Tukar hadiah. Siap-siap, ya? Ayah hitung dari sekarang. Satu, dua一"
Ctak!
Sebelum hitungan ketiga, ayah mendorong pelan pundak Mark di saat yang sama ia menarik benang itu kuat-kuat. Sesuatu melayang di udara, berwarna putih sebesar kacang. Keterkejutan dan sengatan rasa ngilu yang tiba-tiba terasa mengakibatkan Mark menangis bercucuran air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanfictionJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...