51. Kita Tegar

729 174 17
                                    

Hujan sudah berubah menjadi rintik-rintik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hujan sudah berubah menjadi rintik-rintik. Apa yang tadi terkesan bak lolongan histeris langit telah berganti jadi isakan-isakan pelan yang memudar. Seperti seseorang yang merelakan, melepas sesuatu tak ditakdirkan jadi miliknya. Hanya ada angin yang bertiup membisikkan rahasia-rahasia alam, berduet dengan petir yang sesekali menyambangi tanah. Bersama, keduanya menciptakan gelap dan terang yang bercampur dalam cawan kekacauan. Suasananya dingin membekukan, seluruh warna ibarat terisap menuju ketiadaan.

Inilah gambaran yang paling mendekati mimpi buruk Mark Lee, yang terburuk dari segalanya, sebab ia tahu ia takkan bisa mencubit pipinya dan berharap bangun lantas kembali ke rutinitasnya yang biasa.

Ini sungguhan. Ini nyata. Dan Mark terjebak di dalamnya.

"Maaf, Jisung."

Terhitung sudah 3 kali Mark melontarkan kalimat itu. 2 kata, 10 huruf, amat sering ia eja sampai-sampai kehilangan maknanya. Maaf untuk ini, maaf untuk itu. Terlalu memuakkan untuk diingat alasannya.

"Aku gagal..."

Dia mengakhiri penuturannya dengan menyerahkan seuntai gelang. Setengah lusin ceri mungil yang menyebar teratur di tiap permukaannya berwarna merah, matang karena darah.

Jisung menerimanya, gelang tanpa tuan yang pernah melingkari pergelangan kakaknya. Mark menyaksikan jakunnya naik turun, menelan ludah, dan mungkin juga tangisan. Dia mengatupkan tangannya ke sekeliling gelang itu rapat-rapat, sementara harapan di matanya retak, lalu jatuh berguguran. "Apa dia meninggal?"

Mark tidak sanggup menjawab.

Si kembar berdiri. Jeno duluan, Jaemin menyusulnya. Gerakan mereka memang selalu selaras. Namun Jeno-lah yang meletakkan tangan di bahu Jisung dan berusaha menyeretnya mundur. "Kasih ruang Mark-hyung buat napas dulu. Seenggaknya sekedar ganti baju."

Tidak digubris, Jisung justru menepis upaya Jeno menenangkannya. "Apa dia meninggal?"

"Jisung."

"Mark-hyung, tolong jawab aku, apa kakakku meninggal? Aku berhak tahu soal ini."

Bola mata Mark bagai tersaput awan kelabu. "Sulit buat narik kesimpulan. Aku sendiri nggak tahu pasti. Kamu inget asap merah yang muncul nggak lama setelah Aru pergi?"

Jisung mengangguk dengan wajah kaku. Dia seperti pemuda yang berdiri di pinggir tebing dan tidak yakin apakah Mark hendak mendorong atau menolongnya.

Masalahnya adalah, entah ingin atau tidak, Mark tidak mampu mencegahnya. Ini一dan banyak hal lain一berada di luar kendalinya. Mark bukan penyihir sakti dengan tongkat ajaib, dia tak lebih dari manusia biasa, yang kini berpendapat dirinya tidak berguna. "Hujan bikin asap itu memudar, tapi berkat beberapa suara tembakan aku bisa ngikutin mereka ke Shinsa-dong. Sayangnya waktu sampek di sana, aku nggak ketemu siapa-siapa. Jisung, aku terlambat."

What Makes Us Human ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang