"Kenapa," Huang Renjun bertanya, dan dia sungguh-sungguh mengharapkan jawaban, "Sejak ninggalin sekolah jumlah kita nggak pernah lengkap? Selalu aja ada yang hilang, atau lebih parah lagi, meninggal."
"Seleksi alam." Jaemin mengusulkan. "Takdir. Kita sial. Kita nggak pernah belajar. Pilih yang kamu suka."
Jika Jeno yang dimintai keterangan, maka dia memilih tidak menyahutinya. Jeno menutup bagasi sebuah mobil Mitsubishi Lancer Evo berwarna putih yang dia, Jaemin, dan Ryujin tumpangi untuk berangkat. Mobil yang sama dari rumah yang garasinya pernah mereka pakai sebagai kandang zombie. Mobil itu kini tak hanya dipenuhi muatan baru, tetapi juga penumpang baru. "Belum ada tanda-tanda Mark-hyung?"
Renjun yang posisinya paling dekat dengan gerbang menggeleng. "Nggak ada sedan ungu dimana-mana. Atau mobil lainnya."
Jaemin bersandar di pintu pengemudi Dodge, menyilangkan lengan. Dalam Dodge itu, Ryujin terbaring diam, dan duo orang asing terduduk di kursi tengah. Haechan dan Grace ditempatkan di Mitsubishi bersama Jisung yang enggan beranjak dari sisi kakaknya. "Mereka nggak punya banyak waktu."
"Kita nggak pernah dan nggak akan ninggalin siapa-siapa," sanggah Jeno. "Itu bukan kita. Bukan kebiasaan tim kita."
Tangan Jaemin turun dan menyelinap ke saku celananya. "Berarti seseorang harus tinggal buat nunggu Mark-hyung di sini."
"Biar aku." Renjun mengajukan diri, bertekad membantu sekaligus menghindar dari keharusan menyaksikan proses pemakaman lain. "Aku juga yang jemput Mark-hyung waktu dia ngejar Aru kan?"
Jeno menolak mentah-mentah. "Gantian. Sekarang giliranku. Kamu sama Jaemin pulang. Urus dan kasih apapun yang mereka"一maksudnya para korban一"butuhin."
Keletihan menyusup ke suara Jaemin. Dia tak punya cukup energi untuk berdebat. "Dia bener. Lagian Jeno yang megang flare gun. Masih ada sisa pelurunya kan? Bagus. Perlu dicariin mobil?"
"Nggak, nanti aku cari sendiri, tapi keluarin metanol itu sebelum kalian pergi."
"Metanol? Buat apa?"
Sepatu Jeno menggesek paving block. Dia berbalik, seolah berbincang dengan langit, tidak memperlihatkan pada saudara dan sahabatnya satu hal lain yang masih tersisa一kemarahannya, kesedihannya, dan terutama, rasa bersalahnya. Dia ingin membakar semua itu, bersama bangunan ini yang sekarang memiliki kenangan kelam baginya. Kenapa tidak? "Apa lagi? Buat ratain tempat ini sama tanah."
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanfictionJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...