Pada awal tahun 2020, sebuah virus yang dicurigai berasal dari lab sebuah negara yang sengaja dibuat untuk senjata biologis demi kepentingan orang-orang tertentu, menyebar di dunia, dan dengan cepat, mendapatkan gelar sebagai pandemi.
Sebagian orang berkata itu murka Tuhan. Yang lain mengoceh tentang teori konspirasi yang melibatkan usaha memangkas populasi manusia tiap 100 tahun sekali. Ada pula yang tetap mempertahankan kewarasan dan mencoba mencari solusinya dengan cara-cara ilmiah yang terbukti aman.
Apapun itu, virus C19 telah membuat dunia kalang kabut. Lockdown diberlakukan, sekolah terpaksa diliburkan. Banyak mayat menumpuk tak terurus, disebabkan lahan-lahan pemakaman yang sudah penuh sesak. Kelelawar dan hewan-hewan yang dicurigai merupakan sumber awal pun ditangkap. Berbagai kegiatan olahraga, konser artis-artis ternama, serta rencana-rencana besar lainnya dibatalkan.
Dulu, kita biasa mengadakan acara ulang tahun beramai-ramai.
Kini, berkumpul bersama beberapa teman saja dianggap sebagai sebuah pelanggaran.
Kita menuai apa yang kita tabur; setelah mengurung binatang di balik kandang-kandang baja bernama kebun binatang dan menonton mereka seolah kita adalah satu-satunya makhluk yang berhak menguasai dunia, akhirnya kitalah yang dipaksa jadi hewan ternak; terkurung, dibatasi, tidak bisa bergerak sesuka hati.
Selama berbulan-bulan, kita berusaha beradaptasi, menunggu dan berharap akan datangnya hari dimana kita bisa membuka masker kita dan memiliki kehidupan yang lebih baik, walaupun tidak dipungkiri, ada saja pihak-pihak yang diuntungkan; para produsen masker, mereka yang membuat hand sanitizer.
Tapi lambat-laun, banyak orang mulai gelisah. Banyak orang mencoba mendobrak pagar rumah mereka lantas memilih mengabaikan si makhluk jahat yang tak kasat mata demi meraih kebebasan.
Hingga akhirnya, jawaban muncul seperti berkah; vaksin telah berhasil dibuat.
Berbagai perusahaan farmasi berebut meraup keuntungan, berlomba-lomba mengklaim obat merekalah yang terbaik. Para pemimpin negara terdampak yang ingin ekonominya menggeliat dan bangkit kembali, tidak mempedulikan peringatan WHO bahwa tak ada yang pasti dalam vaksin-vaksin tersebut. Mereka lupa, racun yang manis tetaplah racun dan bisa saja fatal akibatnya. Secercah cahaya harapan yang terbentuk dari rasa frustrasi barangkali justru akan menuntun pada kegelapan total.
WHO berkata, jangan.
Masyarakat membantah, kami ingin menjadi kebal.
Tak banyak yang bisa dilakukan. Antara kolaps dan mengalami penurunan nilai tukar mata uang yang kian merosot atau percaya pada vaksin yang belum teruji secara lebih mendetail, banyak negara yang memilih nomor dua.
Satu juta orang disuntik setiap harinya. Mereka yang punya lebih banyak uang dijadikan prioritas. Di situasi genting, tak ada yang benar-benar berpikir tentang adanya efek samping.
Waktu kemudian datang membuktikannya.
Kita menuding C19 adalah mitos, dan virus itu tertawa.
Melalui pembalasan dendam, sekali lagi, dunia diguncang oleh virus baru yang muncul dari apa yang sebelumnya mereka kira adalah penyelamat.
Vaksin berubah menjadi pembawa bencana. Kematian massal terjadi lebih cepat, jauh lebih cepat, dibanding virus aslinya.
Namun bedanya, orang-orang itu tidak sepenuhnya mati.
Mereka kembali; mayat-mayat dengan keganasan menyerupai setan-setan neraka, dan di tengah-tengah kekacauan itu, 7 orang pemuda bersama seorang gadis berjuang untuk bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
Fiksi PenggemarJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...