Respons alamiah tubuh Mark Lee yang terlalu tenang tidak dapat dia pahami.
Bagaimana pun, mereka sedang mendiskusikan strategi penyerangan. Mark seharusnya merasakan gelenyar rasa takut, cemas, gusar. Dan anehnya, gelenyar itu tidak ada. Dia sama kosongnya seperti saat menginterogasi Sangyi dengan kekejaman yang dia tidak tahu mampu dia lakukan.
Mark memikirkan Aru, mengingat-ingat monster macam apa dia. Iblis yang tampan, dengan sudut-sudut wajah yang lembut. Pakaian bersih bebas noda. Mulut yang terbuka, tertawa. Aru bahkan tertawa setelah mengeksekusi seseorang. Aru menikmatinya. Namun, tawa itu tidak bisa lagi mempengaruhi Mark sekarang. Barangkali bukan hanya Jisung yang berubah.
Mark mendapati dirinya bersemangat menanti Jeno membeberkan informasinya.
Mata Jeno masih fokus ke jalanan, mengemudi dengan lancar menuju rumah. "Zeny punya dua tempat parkir."
"Dua一apa maksudmu?"
"Perhatiin tata letak bangunannya, Mark-hyung. Zeny berbatasan langsung sama jalan raya, dan tempat itu nggak cuma dikunjungi anak SMA. Pertama kali Renjun ngajak aku ke situ, aku nggak kebagian tempat parkir karena tempat parkir utama penuh sama mahasiswa yang juga naik mobil."
"Ternyata ada tempat parkir kedua?"
"Ya, aku diminta naruh mobil di bagian belakang bangunan. Itu ruang baru, mereka jelas nggak bisa memperluas ke depan. Tahu kan, futsal normalnya dimainin 10 orang? Bayangin setiap orang bawa mobil. Mau nggak mau pihak pengelola harus bikin perubahan."
Buta terhadap segala hal mengenai arsitektur, Mark menutup mata mencoba membangkitkan imajinasinya. "Deskripsiin tempat parkir itu. Yang kedua."
"Tempatnya besar. Bentuknya persegi. Tiga sisinya diapit tembok yang tingginya ... Mungkin sama kayak gerbang sekolah kita. Aku inget tanganku nggak nyampek ke ujung tembok itu. Teksturnya halus, warnanya putih. Itu membantu?"
"Ada pintu atau jendela terdekat dari tembok itu?"
"Pintu karyawan, tapi beberapa pengunjung kadang lewat pintu itu ketimbang repot-repot muterin bangunan buat jemput mobil mereka."
"Jadi tempat parkir kedua lumayan sepi? Kalau aku manjat tembok itu, orang-orang di dalem nggak akan sadar kecuali mereka kebetulan buka pintu karyawan?"
Kebimbangan menerpa Jeno. "Agak ... sulit. Temboknya bener-bener halus. Mesti ada tali atau orang yang mau minjemin bahu mereka."
Mata Mark kembali terbuka, cerah dan bersinar-sinar oleh gagasan. "Kita simpen itu dulu, anggep aja rencana cadangan. Tapi seandainya terpaksa bertamu dari gerbang depan, apa yang kira-kira mempengaruhi orang lain supaya mau buka gerbang rumahnya?"
"Selain paket?"
Mark melakukan kombinasi antara tertawa dan mendengus. "Selain pura-pura nganter bir. Dan menurut kamu, kapan tepatnya orang paling nggak waspada? Sebelum atau sesudah bangun tidur?"
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanfictionJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...