79. Kita Merelakan

606 121 32
                                    

Dalam berbagai bahasa, ada banyak cara untuk mengucapkan selamat tinggal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dalam berbagai bahasa, ada banyak cara untuk mengucapkan selamat tinggal. Good bye, annyeong, dan sayonara adalah sebagian contohnya. Bagian tersulit bukanlah bagaimana memaksa mulut mengeluarkan kata-kata itu, melainkan merelakan perpisahan yang datang sesudahnya.

Sebelumnya, Jeno pikir dia sudah memahami cara kerja dunia ini. Minggu ini dia telah mengalami banyak pengalaman traumatis sehingga dia kira dia siap menerima apapun yang terjadi. Memang begitu kan? Bayi yang belajar berjalan dan terjatuh akan menangis. Kali kedua, dia akan lebih berhati-hati. Lalu setelah latihan demi latihan, dia baru bisa melangkah lancar untuk selanjutnya berlari. Itulah rumusnya: kita kuat karena terbiasa, sering jatuh akan membuat kita lebih perkasa. Jadi Jeno kira, bila nanti kehilangan teman untuk kesekian kalinya, rasa sakitnya akan berkurang.

Tidak benar. Rasa sakitnya justru semakin bertambah.

Diperparah oleh suara asing yang mengingatkannya secara teratur bahwa ini salahnya.

"Ryujin ...." Tidak, tidak, ini tidak mungkin. Jeno berbalik tidak ingin melihatnya. Dia pengecut, terlalu berat baginya melihat luka gigitan akibat perbuatannya yang ragu-ragu membereskan Yuma. Jeno menjambak rambutnya sendiri. Bantuannya tidak cukup cepat. Kesalahannya tidak termaafkan.

"Ya, aku一" Ryujin mengeluarkan isak tangis bercampur tawa. "Aku cuma bisa sampai di sini."

Jaemin mengerang dan berjongkok. "Apa-apaan ini? Aku nggak ngerti. Padahal kita menang. Kita pemenangnya! Kenapa harus ada korban?"

"Bukan salah kalian. Ini bukan salah kalian!" Sementara kulit di sekitar lukanya mulai menggelap, Ryujin berusaha meringankan beban mereka. "Kita nggak perlu saling nyalahin. Itu nggak akan bikin aku batal terinfeksi."

"Itu dia," tukas Jeno putus asa. "Kamu nggak seharusnya terinfeksi. Kamu seharusnya ada di tempatku, sehat dan cuma luka ringan!"

"Jeno, ini bukan sepak bola," seru Ryujin pasrah. "Aku nggak bisa ngasih nomor punggungku ke wasit cadangan dan minta ditukar sama kamu. Nggak ada peraturan semacam itu di sini."

Namun, Jaemin tidak kenal kata menyerah. "Denger, gimana kalau kita cari perban? Pertama-tama kita cuci luka kamu dan tutup. Barangkali一"

"Lihat aku, Jaemin."

Sesuatu dalam nada bicara Ryujin memotong perkataan Jaemin dengan efektif.

"Lihat aku baik-baik."

Yang berdiri di hadapan Jaemin adalah seorang gadis muda yang senyumnya hampa. Tidak ada tanda-tanda perlawanan dalam dirinya. Blouse-nya basah oleh darah, demikian pula dahinya oleh keringat. Air matanya menyadarkan Jaemin, dan terutama Jeno, bahwa tikaman duka lebih menyakitkan ketimbang luka fisik. Bahwa dengan menonton saja, tanpa daya, menghadirkan rasa bersalah yang mengikat mereka bagai borgol yang terkunci erat.

Ryujin menggeleng. "Aku tahu peraturannya. Sedikit aja kena cakaran atau gigitan zombie artinya maut. Aku juga tahu metode pengobatan biasa nggak ada gunanya. Jadi, Jaemin, aku pikir nyari perban itu percuma."

What Makes Us Human ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang