23. Kita Bertanggung Jawab

1K 272 28
                                    

Yang paling mengerikan dari kecelakaan, selama kamu masih sadar, adalah kekhawatiran dan hilangnya kendali atas tubuhmu.

Kakimu tertekuk, dan setan di telingamu akan berbisik kaki itu remuk. Tanganmu kaku, dan prasangka burukmu akan berujar tangan itu hancur. Atau saat lenganmu sakit setengah mati, otakmu yang panik akan salah memproses informasi bahwa lengan itu perlu diamputasi.

Setidaknya, itulah yang dipikirkan Huang Renjun di detik-detik awal dia terbaring di tengah pecahan kaca spion motornya.

Jeno sudah bercerita tentang pengalamannya di lantai 2, serta pentingnya ketenangan bahkan di situasi yang tidak memungkinkan. Jeno bilang, jatuh dari balkon mengajarinya sesuatu dan yah, Renjun harus mengakui peristiwa nyaris mati ini juga memberinya pelajaran berharga; jangan kehilangan fokus saat berkendara!

Perlahan-lahan, Renjun bangkit dengan bertumpu pada lututnya. Ditendangnya bodi motor yang menjepit sebelah kakinya. Kulit lengannya tampak mengelupas akibat bergesekan dengan aspal dan astaga, demi semua planet di alam semesta, rasanya perih sekali!

Sambil mengerang dan terpincang-pincang, tak bisa merasa lebih menyedihkan dari ini, Renjun mengambil pistolnya yang terlempar bersama tongkat besi Grace. Dalam hati dia berdoa senjatanya tidak rusak meski ia tidak tahu kondisi macam apa yang bisa merusak senjata sekelas Glock yang mendunia.

"Sialan kamu." Renjun dipenuhi kemarahan yang bersifat 2 arah; pada dirinya yang tidak berhati-hati, dan zombie tolol yang sudah menghalangi. "Sialan kalian semua!"

Dor! Dor! Dor!

Dia menghancurkan kepala zombie itu, dan zombie-zombie lain yang kiranya menduga bisa berpesta setelah mendengar suara kendaraannya yang jatuh.

Tidak akan. Matilah kalian, makhluk-makhluk rendahan.

Tindakannya mungkin kurang bijaksana, namun Renjun terlalu lelah, terlalu lemah, dan terlalu kesakitan untuk bertarung memakai pisau atau tongkat. Setiap menit, lukanya terasa semakin menyakitkan一bukan kondisi ideal untuk menggerakkan tangannya terlalu banyak.

Usai membereskan mereka, pemuda itu menghampiri rekannya yang tergeletak dengan rambut menutupi wajah. Grace Moon tidak bergerak walau suara pistol Renjun bisa terdengar hingga beberapa meter jauhnya. Mata gadis itu terpejam, darah mengalir dari luka di pelipisnya dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.

"Grace?"

Ayahnya sudah sering mendapat pasien seperti ini; kecelakaan motor, tapi yang terluka lebih parah justru penumpang, bukannya pengemudinya. Kebanyakan, karena si penumpang terlempar dari motor dan mengalami cedera kepala yang fatal.

Renjun mengumpat. "Grace? Hei! Grace, bangun!"

Jisung takkan pernah memaafkannya jika Grace sampai meninggal karena masalah sepele seperti kecerobohan.

Tidak, tidak, tidak! Grace, jangan! Mungkin Renjun egois waktu itu, tapi salah 1 alasan terbesar ia ingin Grace selamat adalah sebab ia tidak mau sendirian. "Grace, ayolah. Kamu bisa denger aku? Grace?"

Gadis itu diam tak bergerak.

Renjun menarik-narik rambutnya dan dengan panik memandang ke sekeliling. Remaja asal China itu tidak mengenal lingkungan di mana ia terdampar, tapi tak ada orang lain sejauh mata memandang. Renjun tak tahu harus mensyukuri atau justru mengutuk keadaan itu, yang pasti andai diberi pertanda ini akan terjadi, ia pasti akan lebih sering jalan-jalan.

Buta terhadap kota tempat ia dibesarkan ... Lucu.

Tapi Renjun tidak tertawa. Dia malah memungut barang-barang mereka dan memasukkannya ke dalam tas Grace. Terpaksa, meski paham korban kecelakaan seharusnya tidak boleh dipindahkan mengantisipasi cidera tulang, dia menggendong Grace dengan hati-hati menuju rumah terdekat yang bisa ia capai.

What Makes Us Human ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang