54. Kita Menipu Dan Ditipu

589 157 26
                                    

Ding dong! Ding

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ding dong! Ding ... Dong!

Beberapa menit berlalu, dan ukuran rokok Aru pun menyusut. Lamanya keheningan yang tercipta di antara mereka bisa dipakai seekor burung untuk menyebrangi lautan dari ujung ke ujung. Aru tersenyum, tak kunjung surut. Bukan senyuman mengejek atau menyepelekan, hanya senyuman biasa yang anehnya terkesan ... Jujur. Dia duduk di sebuah kursi putar sambil sesekali mengisap rokoknya atau merapikan rambut selagi menunggu.

Kemudian, sudah bosan, dia mengetuk-ngetuk jam di pergelangan tangannya. "Waktunya habis. Pakek mulutmu dan jawab pertanyaanku."

"Du ... Cati?" Ini adalah kalimat pertama Lee Haechan, dan ia kaget sebab suaranya mirip kodok yang terserang radang tenggorokan. Parau, sengau, jauh berbeda dari suaranya yang biasa.

Aru mengangkat kedua alisnya, berhasil bersandiwara iba sebelum tertawa. "Minum."

Saran yang bagus. Haechan memang butuh minum. Dan morfin. Dan makanan, meski ia tahu diri untuk tak meminta layanan spesial. Ia sungguh tidak mengerti alasan si sinting ini bermanis-manis dengannya, dan berapa lama keramahtamahan palsunya bertahan, maka Haechan berniat memanfaatkannya sebelum Aru berubah pikiran.

Haechan kembali berguling, berusaha tidak membebani kakinya yang terluka dan menggapai botol air yang tadi dilempar padanya. Jari tengahnya menyentuh pinggiran botol itu dan ... Dapat!

Haechan melepaskan 1 desahan lega. Dia berpindah ke posisi duduk, yang perlu waktu lama, serta tambahan ekstra sekian detik untuk mengatur napas. Rantai kakinya yang kependekan tertarik tegang. Ini belenggu nyata一bukan kiasan belaka. Dia diikat seperti binatang, dan sejenak, ia merasa cukup marah untuk mengamuk andai akal sehatnya tidak menyalakan alarm peringatan.

"Udah nyaman?" Aru mengamatinya bak penonton di sirkus lumba-lumba; terhibur, geli, antusias. "Kamu hebat一aku nggak bercanda. Orang lain kemungkinan bakal meninggal, tapi kamu ... Aku tahu kamu punya semangat hidup. Orang-orang sejenis kamu ini yang aku suka."

Haechan menenggak airnya, berhati-hati agar tak setetes pun terbuang percuma. Dia berdeham, lalu mencoba bicara ulang, "Apa maumu?"

Lebih baik.

"Ck ck ck, apa benturan ngerusak telingamu? Udah kubilang, aku mau tahu tentang Ducati itu. Asalnya, dari siapa. Semuanya dan selengkap-lengkapnya."

"Kenapa?"

Senyum Aru mencuat. "Kenapa nggak?"

Ducati lagi.

Ducati merah itu lagi.

Bila kemarin Haechan masih ragu, kali ini dia yakin Grace dan Renjun menyimpan rahasia. Rasa penasaran seharusnya ada batasnya. Terlalu penasaran justru akan mengakibatkan si kucing terbunuh*. Seseorang takkan mengungkit motor yang sama berkali-kali jika menurutnya itu tidak penting, terutama kalau motor yang dimaksud kemungkinan sudah hancur.

What Makes Us Human ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang