Ada ketukan di pintu kamar Mark Lee, pelan dan ragu, mengganggu permainan yang mulai dia anggap seru.
Suara Jaemin dibawa angin melayang dari luar. "Mark-hyung, apa semuanya oke di dalem?"
Senyum Mark awet di wajahnya. Tidak berkurang, tidak terurai. Sedikit senyum itu bahkan bocor dan terdengar dalam bentuk tawa yang teredam. "Semuanya hebat di sini, Jaemin. Nggak ada yang nggak terkendali."
"Tapi, teriakan itu一"
"Kamu urus aja Jisung. Jangan masuk." Meski bila dia nekat pun, dia tidak akan mampu. Mark telah memblokir akses masuk utama ke kamarnya. Takkan ada yang bisa ikut campur kecuali dia mengizinkan, atau orang itu bersedia repot-repot mencungkil daun jendela.
Dari celah di bagian bawah pintu, terlihat bayangan Jaemin yang bergeming. Kenop pintu masih tertekan ke bawah. Mark menghitung satu sampai sepuluh, jeda yang dia butuhkan, sebelum dia berucap, "Ya udah." Dan pergi dari sana.
Hanya tersisa Mark dan Sangyi di ruangan sempit yang terkunci rapat. Dengan pisau yang tertancap. Aroma darah tercium pekat. Tempat tidur dan bed cover berwarna biru adalah saksi ketika Mark meneruskan permainan dengan mendorong pisau lebih dalam, melipatgandakan rasa sakit tamunya. "Di mana? Aku nggak denger jawabanmu."
Tubuh Sangyi berayun maju mundur. Kulitnya licin karena peluh. Dia memandang melewati Mark ke arah senjatanya, seolah bisa meraihnya dalam kondisi tangan terikat di belakang punggung dan kaki terluka. Sudah menjadi bagian dari naluri bertahan hidup manusia sepertinya, untuk mencoba berbagai cara saat terdesak. Terutama saat mereka putus asa. Sangyi tidak mengerti. Dia bodoh jika mengira Mark akan diam menontonnya mendekati senjata-senjata itu lebih dari tiga langkah.
"Oh, itu?" Mark terkekeh. "Mereka punyaku sekarang. Bagus-bagus, ya?"
Sangyi mendelik, pura-pura berani. Namun, itu dia一pengingkaran di matanya. Terdapat kesadaran yang timbul bahwa Mark tidak sekadar menggertak, dan itu membuatnya ketakutan. "Seandainya kalian tahu, kalian mau apa? Si Tikus dan si Kelinci cuma beruntung. Kalian nggak punya peluang ngelawan Aru."
"Sekali lagi, kamu terlalu ngeremehin orang lain."
Tawa sumbang Sangyi keluar disertai ejekan dengan volume yang rasa-rasanya sanggup membangkitkan mayat. "Kapten, perhatiin anggotamu. Kalian ini amatir. Kalian nggak lebih dari anak-anak yang berlagak jagoan. Dengan datengin Aru sama aja kalian setor nyawa."
"Atau mungkin," kata Mark datar. "Aku bisa ngadain reuni yang asyik sama dia. Reuni yang ngelibatin darah."
Sangyi tertawa semakin kencang. "Kamu nggak tahu apa yang kamu hadapi. Aru punya sepasukan orang terlatih di tempatnya."
"Dan tempatnya ada di...?"
Ludah Sangyi tercurah dan mendarat di pundak Mark dari target awal yang tadinya mengincar wajahnya. "Cari tahu sendiri, anjing kudisan."
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanfictionJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...