Lee Haechan butuh 3 kali dering alarm untuk terbangun pagi itu.
Meski secara resmi ponselnya tidak banyak berguna sejak tak mendapat sinyal, fitur lain yang tidak mengandalkan internet masih bisa berfungsi dengan baik, asal ada baterai yang menopangnya. Tak berbeda dengan suatu tim, harus ada orang yang menjadi pilar agar tim itu tidak tumbang berceceran. Bukan Haechan. Tidak pernah Haechan.
Sebab sekarang, ia tak punya lagi alasan untuk tinggal.
Sudah cukup dengan semua kebohongan ini. Haechan tak bisa lagi mencari-cari alasan untuk tidak pulang karena ketakutan yang tidak rasional. Padahal, dia memiliki ratusan kesempatan untuk mencapai rumahnya, ratusan moment dimana ia bisa mengubah arah layar dan menengok keluarganya. Tapi kekhawatiran akan apa yang menantinya menumpulkan keberaniannya. Layaknya pisau berkarat, Haechan benci mengakui bahwa kini ia bersikap layaknya pecundang.
Persetan, tidak!
Harga diri Haechan rasanya disayat-sayat memikirkannya. Dengan tekad seorang pejuang, pemuda itu mandi dan memastikan tidak ada barang-barangnya yang tertinggal. Agak aneh, dia tidak marah, bahkan nyaris merasa tidak nyaman meninggalkan kelompoknya. Jujur saja, Mark Lee, Park Jisung, termasuk Na Jaemin ternyata tidak seburuk perkiraannya meski tingkah bodoh mereka masih sering membuatnya naik pitam.
Ketika seberkas cahaya matahari pertama muncul dari timur, Haechan keluar dari rumah yang telah beberapa hari ini menaunginya...
"Mau ke mana?"
... Dan hampir terpeleset di tangga berkat suara lembut-tapi-serak milik gadis yang kemarin ia cemaskan.
"Grace?"
Sepagi ini, Grace belum mandi, dan nampaknya juga belum tidur semalaman. "Mau ke mana, Haechan?"
Bohong atau jujur? Haechan mengangkat bahu, mengambil jalur yang paling mudah. "Pulang."
"Kamu nggak bangunin yang lain?"
Haechan tertawa singkat. "Aku nggak butuh pengasuh."
Desir angin yang berhembus membelai rambut Grace dengan jari-jari tanpa berat dan mendorongnya ke depan. Sedikitnya jumlah kendaraan yang lewat di kota yang sekarat menjadikan udaranya lebih segar, walau tak selaras dengan pembicaraan mereka yang penuh beban. "Apa kamu bakal balik?"
"Mungkin. Aku belum mutusin."
Mereka sama-sama tahu itu bukan kebenaran.
Punggung Grace melengkung, bersandar di pagar kayu saat ia menengadah ke langit biru. "Boleh aku ikut, Haechan?"
"Mending jangan." Tapi 'jangan' yang ia ucapkan terdengar amat pelan.
"Kamu nggak butuh pengasuh." Grace mengingatkannya. "Siapa tahu aja kamu butuh temen. Aku bisa bantu kamu."
Tidak secara fisik melainkan mental, Haechan merasakan dirinya goyah. Pijakan keyakinan bahwa ia lebih baik sendiri mulai retak di bawah kakinya ibarat salju yang gugur lebih awal. "Gimana sama si maknae?"
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanficJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...