Realita dan ekspektasi.
Antara harapan dan ketentuan Tuhan, duduk bersanding walau sering tidak sejalan. Apa yang kita bayangkan kerap tidak sesuai dengan kenyataan. Bukan karena sang pencipta kejam, Mark Lee percaya Dia hanya ingin membimbing kita ke arah yang benar. Barangkali untuk mencapai pulau bahagia, terlebih dahulu kita harus mengarungi samudera kesabaran berikut batu karang kekecewaan dan badai kegagalannya.
Angan-angan disebut angan-angan sebab berada di luar jangkauan. Meraihnya butuh usaha, menggenggamnya memerlukan lebih banyak kerja keras. Ketika apa yang kita damba tidak ditakdirkan berada dalam pelukan, kita selalu punya 2 opsi untuk bangkit dan mencari pengganti, atau pasrah dan membiarkan kesedihan menancapkan cakarnya.
Dengan kata lain, mampuslah, benak Mark bukan main kacaunya.
"Waduh." Satu kata dari Renjun merangkum keseluruhan isi kepalanya. "Kalau gini situasinya kita nggak bisa maju."
"Apa kubilang." Jeno berseru tidak dengan nada penuh kemenangan. Hanya jengkel, sedikit lesu, dan menyesalkan rencana mereka yang terancam gagal.
Pintu penumpang kanan Subaru terbanting menutup, Jaemin melompat ke aspal yang membara oleh panas matahari dan mengoper sebungkus roti dorayaki pada saudaranya. "Nih." Itu tradisi mereka; bertaruh menyangkut apa saja, lalu menghadiahi makanan pada yang menang.
Ryujin, yang sudah menggelung rambut merah menyalanya menjadi simpul yang menyerupai ekor kelinci, bersandar di kap mobil. Walau hanya membalut kakinya dengan celana capri dan atasan blouse katun sederhana, ia tampak setangguh Lara Croft versi remaja. "Apa kamu setuju sama Renjun? Gimana menurutmu, Mark?"
Apa yang bisa Mark katakan? Ini ibarat bola penghancur semesta. Baru saja dia berniat meningkatkan kepercayaan diri, berita buruk seketika datang menghampiri. Fakta bahwa kantor polisi yang mereka tuju disesaki monster haus darah tidak memperbaiki suasana hatinya. Beberapa meter dari lokasi pengamatan, zombie-zombie berkerumun, totalnya melebihi jumlah yang sanggup mereka tanggung. Kecuali kelompoknya membunuh mereka semua, pupuslah sudah peluang mencari senjata.
"Mark?"
"Sebentar, Ryujin. Aku lagi mikir."
"Tentang apa?"
"Hey, Jisung? Kira-kira一" Mark berpaling, pada satu-satunya orang yang mengenal Grace lebih lama dari dirinya. "一metode apa yang Grace dan Haechan pakek buat ngejarah kantor polisi dengan peluru yang kurang-lebih sisa 5 butir?"
Untuk alasan-alasan yang sudah jelas, Jisung gelisah. Tak ada sosok kakak yang bicara mewakilinya, kini dia harus menyuarakan idenya tanpa mengandalkan orang lain. Dan Mark menduga, Jisung belum terbiasa. "Aku nggak tahu."
Mark justru yakin dia tahu sesuatu. "Kasih aku titik buat memulai Jisung. Teori, asumsi, tebakan kasar. Terserah."
Jisung mengeluarkan tawa yang tidak mencapai matanya. "Siapa yang bisa nebak pikiran Noona? Dia nekat, dia bakal nyoba apa aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanfictionJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...