28. Kita Pemburunya

969 252 79
                                    

Apa yang paling dibutuhkan oleh 8 remaja一berpikir positif adalah pilihan dan jalan itulah yang diambil Mark Lee一yang hidupnya berada di tengah-tengah kekacauan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Apa yang paling dibutuhkan oleh 8 remaja一berpikir positif adalah pilihan dan jalan itulah yang diambil Mark Lee一yang hidupnya berada di tengah-tengah kekacauan?

Makanan, ya. Sesuatu yang tidak hanya mengenyangkan, melainkan juga tahan lama, lebih bagus lagi bila bisa langsung disantap seperti sereal, keripik, dan makanan kalengan yang praktis. Tidak seperti roti yang akan berjamur setelah beberapa hari atau ramen yang meski lezat penyajiannya agak merepotkan. Bagaimana jadinya jika dalam perjalanan ke Jeju mereka tidak menemukan rumah untuk singgah lalu terpaksa bertahan di jalanan?

Sang pemimpin merenungkan hal ini saat ia mencari bahan-bahan kebutuhan pokok untuk kelompoknya. Dia berpikir di mana bisa mendapatkan lebih banyak stok air, adakah anggotanya yang alergi pada kandungan makanan tertentu, dan apakah pemilik rumah yang ia rampok masih hidup.

Mark Lee menyetir otaknya memikirkan semuanya, apa saja, kecuali keadaan Jisung dan mengapa Renjun serta Grace belum juga muncul, namun usahanya tidak terlalu menuai keberhasilan.

"Kamu marah?" Dia memutar badannya, menghadap Chenle yang menemaninya tapi sejak tadi diam saja yang membuatnya merasa sendirian. Mereka membagi sisa kelompok menjadi 2, sehingga si kembar berada di rumah lain.

Zhong Chenle bekerja secara metodis. Dia melaksanakan apa yang diminta, bergerak dari 1 ruangan ke ruangan lain mencari apapun yang bisa dimanfaatkan. "Nggak."

Jelas sekali anak itu memang marah. Dia sulit percaya Mark tega mengirim temannya ke misi pengembangan diri yang menjurus bunuh diri setelah berbuat begitu pada Jeno. "Chenle," kata Mark tenang. "Aku nggak akan nyuruh kamu nerima keputusanku, tapi seenggaknya tolong ngerti kalau aku nggak ngelakuin ini karena aku benci Jisung. Justru ini buat kebaikannya. Jisung udah kehilangan kakaknya ... Buat sementara, aku nggak mau selanjutnya dia kehilangan nyawanya pula."

Tak lekas menanggapi, Chenle mengulur waktu dengan menutup ritsleting tas yang didapatnya dari rumah ini. Di dalam tas itu terdapat beberapa pakaian laki-laki yang cukup pas dengan ukuran mereka. Model dan merk dikesampingkan, asal mampu membungkus tubuh agar tetap hangat. "Aku tahu, aku cuma khawatir一"

"Jisung nggak akan kenapa-napa."

"一sama diri aku sendiri." Chenle menyelesaikan dengan pahit diiringi senyum getir. "Kedengerannya egois kan? Tapi aku juga tahu kalau target berikutnya dan orang kedua yang nggak berguna di tim ini ya aku."

Diam. Bukannya enggan menjawab, Mark hanya bimbang. Semua urusan menyangkut harga diri tidak pernah sederhana dan tidak boleh dibahas dengan tergesa-gesa. "Jangan tersinggung, ini bukan berarti kalian lemah. Kalian sekedar nggak terlatih, dan karena itu aku mau kalian berubah."

"Supaya nggak ngerepotin?"

"Supaya kalian bisa bertahan di situasi terburuk." Mark memperhalus ucapannya. Tidak perlu jadi pemimpin dulu, dia telah belajar caranya menghargai perasaan orang lain sejak orang tuanya mewajibkannya berterima kasih tiap diberi bantuan atau hadiah. "Kejadian Renjun dan Grace ngebuktiin kalau bukan mustahil kita kepisah, dan seandainya itu terjadi sama kalian, kamu dan Jisung harus selalu siap buat segala kemungkinan di luar sana."

What Makes Us Human ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang