Sekitar 2 tahun lalu, di sore temaram yang masih kental akan suasana tahun ajaran baru, Mark Lee pulang ke rumahnya dengan perasaan campur aduk dan langsung bergegas ke perpustakaan.
Di rumah Mark, buku lebih sering dibaca daripada TV dinyalakan. Seperti lelucon saja, Mark pikir TV ada hanya untuk hiasan semata. Di perpustakaanlah, keluarganya sering bercengkrama dan di sana pula Mark menemukan orang tuanya duduk saling berhadapan bersama laptop dan buku yang bertebaran.
"Guess what?" Dia membuka percakapan. "I'm afraid I've got some bad news to talk about." Dan dengan kalimat itu dia bercerita bahwa dia terpilih menjadi ketua kelas.
Ayahnya memberinya selamat, bingung mengapa Mark menggolongkan prestasi itu sebagai berita buruk. Mark tak dapat mengungkapkan secara gamblang bahwa dia khawatir mengecewakan orang lain, gagal menunaikan tugasnya dengan baik, lebih-lebih lagi takut pada tanggung jawabnya.
Tapi insting seorang ibu terbukti lebih tajam dari pedang manapun. Ibunya memahami apa yang disimpan Mark dalam hati, lantas menghadiahinya buku Simon Sinek yang merupakan konsultan kepemimpinan asal Inggris.
"Hope it helps you," begitu tulis ibunya di selembar post-it biru. "Xoxo, Mom!"
Dalam buku itu, Mark membaca beberapa baris kutipan yang begitu mengguncangnya hingga ia bisa mengingatnya sampai sekarang, "The great leaders are not the strongest, they are the ones who are honest about their weaknesses. The great leaders can’t do everything; they are the ones who look to others to help them. Great leaders don’t see themselves as great; they see themselves as human."
Sinek telah menegaskan bahwa pemimpin bukan budak, mengerjakan semua tugas demi mendapat hormat. Tidak, pemimpin lebih bermartabat dari itu. Tugasnya adalah mengenali tiap anggotanya dan membantu mereka mencapai tujuan bersama-sama. Kadang bahkan menggali potensi yang tak mereka sadari mereka punya. Itulah kenapa "pemimpin" tidak dapat disamakan dengan "bos" yang hanya bisa memerintah.
Dan untuk alasan yang serupa, sambil merapalkan kutipan tersebut layaknya mantra, Mark duduk tenang ketika kegemparan pecah.
Jaemin mondar-mandir panik, kala mendapati mobil beserta kuncinya lenyap dari halaman. "Kita harus cari mobil baru."
Saudaranya menimpali, "Terus apa? Haechan dan Jisung bisa ada di mana-mana."
"Kita susuri daerah di deket sini dulu." Chenle mengusulkan. "Mudah-mudahan mereka nggak jauh."
"Ngapain sebenernya Haechan bawa Jisung?" Pesaing utama Haechan mencubit batang hidungnya. "Lempar dia ke zombie dan ngaku itu kecelakaan?"
Ekspresi ketiganya seketika diliputi kengerian saat menyadari seberapa besar peluang itu terjadi. Haechan marah pada Jisung. Dia nekat, dan lebih dari mampu bersikap jahat. Ditambah lagi bila sudah menyangkut balas dendam, dia sepertinya tidak punya batasan yang jelas.
Di titik ini, Mark merasa ia harus angkat suara. "Rileks, Jaemin. Haechan cuma mau ngajarin Jisung beberapa hal yang dia anggep berguna."
"Tahu dari mana?"
"Dia bilang ke aku kemarin." Mark berujar dengan mantab, tidak tergoyahkan tatapan mereka yang terperanjat. "Boleh dikata, dia semacam minta izin."
Orang pertama yang mengerti maksud tersirat kata-katanya adalah Chenle. "Mark-hyung, itu artinya ... Kamu tahu kalau..." Dia tak sanggup menyelesaikan.
Sesungguhnya, mengakui dirinya tak sebaik yang anggapan orang-orang juga sulit bagi Mark. Tapi jika tidak jujur, itu hanya akan menempatkannya dalam jajaran pengecut. "Ya, aku ngebiarin Haechan karena menurutku Jisung perlu sedikit dorongan buat berkembang. Itu keputusanku."
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanficJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...