Lee Haechan baru berusia 7 tahun saat ia menyaksikan pertandingan sepak bola pertamanya secara tatap muka. Haechan takkan menyebut dirinya anak jenius dengan ingatan super, namun sungguh, ia masih ingat bagaimana sensasinya. Ayah bilang hari itu mereka akan jalan-jalan, menonton pertandingan Big Match antara "FC Seoul vs Seongnam".
Mama tidak ikut. Tidak pernah suka kegiatan yang berkaitan dengan bola baik yang dimainkan dengan kaki maupun tangan. Dan karena waktu itu belum ada Yomi dan Raon, jadi mereka berangkat berdua saja. Selama tahun-tahun awal hidupnya, dialah pangeran dalam keluarga. Segala yang Haechan pinta pasti dikabulkan. Masa kanak-kanaknya adalah masa keemasan, sukar dilupa, dan selalu ingin ia ulang.
Ayah menggiringnya ke loket, menjelaskan mereka harus mengantre dulu untuk bisa masuk ke stadion. Tiket mereka perlu diperiksa, katanya, oleh petugas ramah yang mengajaknya tos dan memintanya tidak nakal. Sehabis itu mereka mencari tempat duduk di tribun reguler utara. Jantung Haechan kecil berdebar-debar menunggu pemain keluar dari ruang ganti. Ia menyukai FC Seoul, walaupun bila ditanya dia akan menjawab dirinya adalah pendukung sejati Jeju United.
Para pemain akhirnya menginjakkan kaki di lapangan, seperti biasa tim favorit keduanya mengenakan seragam hitam-merah berhias lambang naga di dada. Permainan berjalan menegangkan, tapi FC Seoul berhasil mengakhirinya dengan kemenangan. Stadion berkapasitas sekitar 66 ribu orang itu kontan riuh oleh pekikan girang suporter, hingga beberapa merayakannya dengan menyalakan flare gun yang mudah didapat.
Seseorang yang ingin membeli flare gun tidak wajib mengurus izin kepemilikan yang berbelit-belit. Syarat utamanya kamu harus menyentuh usia legal dan yah, punya uang. Dalam game, benda itu digunakan untuk mengabarkan posisi. Dalam kehidupan yang sebenarnya, perannya tidak jauh berbeda. Dalam dunia virtual dan dunia nyata, flare gun memiliki fungsi yang sama; memberi sinyal, memanggil bantuan.
Pertanyaannya, dimana mereka? Akan datang dari mana?
Sepuluh tahun kemudian, Haechan di usia 17 tahun fokus menyortir isi kepalanya yang sama sekali tidak tertuju pada sepak bola. Tangannya memutar tuas gas. Sejauh ini dia masih memimpin. Namun hanya Tuhan yang tahu entah sampai kapan. Keributan konstan di belakangnya menandakan pengejarnya belum menyerah. Si orang gila sering harus menerobos berbagai halangan yang menambah banyak penyok di bemper Nissan.
Haechan menoleh kesana-kemari mencari petunjuk dimana ia dan Grace berada. Nihil tanda-tanda papan penunjuk jalan, tapi jika perhitungannya benar, mereka masih ada di Sillim-ro. Di depan sana terdapat persimpangan, satu mengarah ke kawasan perindustrian, yang lain ke ... Perumahan? Ia tidak yakin. Kanan atau kiri?
Harus ke mana? Harus ke mana?
Sebutir peluru melintas, begitu dekat di telinga hingga Haechan bisa menangkap bunyi desingannya. Peluru kedua menyusul, lebih rendah, tak sampai 30 senti dari kakinya. Salah seorang rekan si orang gila yang memakai jaket kulit memutuskan menambah keseruan. Dibukanya jendela lebar-lebar dan ia membidik.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanficJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...