Tidur senyenyak beruang yang hibernasi, Lee Haechan kali ini beristirahat tanpa diselingi mimpi yang rumit.
Orang bilang, tidur adalah cara mereka yang depresi mengelak dari kenyataan. Ketika hidup tak henti-hentinya menekan, ketika semesta tak memberimu jeda untuk bernapas, dan ketika kakimu sukar menemukan pijakan, maka tidurlah yang dipilih sebagai alternatif paling mudah. Sebuah sangkar kecil tempat seseorang bisa pulang, cukup aman meski kenyamanannya bersifat sementara. Tidur merupakan jalan keluar bagi mereka yang lelah, namun terlampau takut dan patuh menentang takdir Tuhan.
Jika boleh berpendapat, Haechan selalu meletakkan dirinya di posisi tengah. Di sana, di antara bejat dan suci, jahat dan baik, ternoda dan bersih, jadi mungkin karena itulah saat terbangun dia tidak merasa takut atau berani. Dia hanya merasakan rasa sakit yang menyiksa.
Kakinya.
Rasa lapar dan haus sejenak tergeser oleh rasa cemas kalau-kalau kakinya tidak tertolong dan dia cacat selamanya. Kecemasan tersebut mencekik Haechan, memaksanya mengeluarkan erangan. Kehilangan satu kaki itu terlalu banyak. Dunia yang sekarang dia huni bukanlah tempat yang ramah bagi orang-orang yang memiliki keterbatasan. Jika dia tidak bisa berlari, jika dia membebani orang lain一
"Haechan?" Suara Grace dan tepukannya di pipi Haechan menyelamatkan pemuda itu dari racun pemikiran negatifnya. "Kamu nggak apa-apa?"
Haechan terengah. "Aku ... Nggak apa-apa."
"Tadi kamu teriak."
"Pasti karena ngigau."
Sosok di samping kirinya membongkar kebohongan Haechan. "Kakinya. Periksa kakinya, Grace. Luka semacam itu harusnya dijaga tetep kering dan perbannya diganti secara berkala."
"Karina," gerutu Haechan, mengeja namanya untuk kali pertama. "Aku sangsi Aru peduli sama kesehatanku, jadi baiknya kita simpan kekhawatiran tentang ini buat nanti."
Terlambat. Kata-kata Karina telah mengakibatkan Grace gusar. "Biar aku periksa."
Haechan menghindar, yang jadi masalah sebenarnya, karena untuk itu dia harus melakukan gerakan gabungan menyeret pantat dan mengayunkan tangan sebagai gayung penggerak. "Udah aku bilang一"
Grace menangkap kakinya bagai menangkap ekor hewan. "Diem."
"Ini konyol. Kalian berlebihan." Haechan mengeluh, namun memang diam sebagian besar karena kehabisan tenaga. Energi yang dipinjamkan air mineral dari Aru sudah lenyap. Dengan perut lapar dan tenggorokan yang segersang padang Sahara, tak heran proses pemulihannya berjalan selambat siput renta.
"Oh." Hanya itu yang diucapkan Grace saat mengecek kondisi pahanya. Tendangan persahabatan Rim menyebabkan lukanya terbuka. Perban Haechan basah. Darahnya terasa lengket dan berbau karat. Sensasi panas membakar menyebar rata dari paha ke bawah seakan ada api yang menyala menyelubunginya. Sedikit saja menggeliat, hawa panas itu naik hingga ke taraf tidak tertahankan, membekapnya, meresap ke tulang-tulangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanficJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...