72. Kita Mengintai

451 135 13
                                    

Mari kita lihat, apa yang ditemukan Mark Lee di sini?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mari kita lihat, apa yang ditemukan Mark Lee di sini?

Bir, wine, soju, dan lebih banyak lagi bir, tersedia dalam berbagai varian. Ada yang dikemas di kaleng, ada pula yang dibungkus di botol. Ukurannya berbeda-beda. Namun menurut Mark, sama memuakkannya. Meski sudah dianggap dewasa oleh orang tuanya dan menurut hukum yang berlaku di Canada, Mark jarang minum alkohol. Dia tidak suka rasanya.

Pada ulang tahun saat dia resmi mencapai usia legal, orang tuanya mengadakan pesta kecil-kecilan di rumah, bertiga saja, dan mereka menyajikan sampanye di jam makan malam. Mark meneguk setengah gelas, mengerutkan hidung, lalu lari ke kamar mandi dalam waktu semenit. Sensasi panas turun dari tenggorokan ke perutnya, dia tidak tahan dan akhirnya memuntahkannya. Sang ayah yang tak pernah melupakan kejadian itu selalu terpingkal-pingkal saat mengingatnya, dan ibunya bilang sampanye seharusnya disesap sedikit demi sedikit, tetapi Mark tidak peduli. Dia lebih suka jus semangka. Titik.

Kalau Aru, nah, dia jelas suka alkohol. Sangat menyukainya hingga menyuruh Sangyi mencarinya di pagi-pagi buta. Tak salah lagi, mereka menjarah bar atau kelab malam, dan kini Aru akan kesal karena anak buahnya tidak kunjung pulang. Aru bisa menunggu selamanya dan mereka tetap tidak akan pulang. Sangyi serta dua temannya paling-paling akan pulang ke neraka.

"Apa yang bakal kita lakuin sama ini?" Tanya Jeno. "Kita minum?"

Mark menaikkan alisnya. "Jangan bercanda, kecuali aku dan Grace, kalian masih di bawah umur. Taruh di teras, biarin di situ."

Jeno tertawa dan mengatakan sesuatu yang Mark terjemahkan sebagai 'iya'. "Yoit!"

Jeno dan bahasa buatannya. Untung Mark paham.

Menyusul Jeno, Renjun datang dari rumah dengan tangan terbuka. "Sini, aku bantu."

Mark melanjutkan pemeriksaannya ke kursi pengemudi. Dia berharap menemukan magasin cadangan atau bukti apapun mengenai adanya aktivitas di tempat penyewaan lapangan futsal yang oleh Sangyi dipendekkan menjadi "Arena". Nihil. Pencariannya tidak membuahkan hasil. Dashboard disesaki pisau, karcis parkir, plastik pembungkus makanan ringan, ikat rambut wanita. Bumper depan mobil ungu itu rusak parah. Plat nomornya copot seolah habis menabrak pohon.

Hampir patah semangat, Mark sedang meraba-raba karpet mobil saat mendadak menyentuh benda yang solid dan padat; sebuah pistol, yang sekilas tampak seperti pistol mainan.

Jeno yang penasaran mendekat. "Apa itu?"

Mark membolak-balik benda di tangannya. "Flare gun?"

"Keren," celetuk Renjun, ikut-ikutan mengerubungi penemuan Mark.

Flare gun itu tidak lebih besar dari telapak tangan Mark. Warnanya oranye cerah, seperti black box pesawat, dengan selingan sedikit warna hitam. Terdapat empat set peluru, atau setidaknya Mark mengira itu peluru, sebab ukurannya tidak biasa, lebih mirip baterai remote versi jumbo. Lubang tempat keluarnya peluru pun lebih lebar. Mark kebingungan. Dia mencabut satu peluru dan berhenti, tidak tahu harus meletakkannya di mana.

What Makes Us Human ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang