Semakin siang semakin panas saja.
Cuaca di bulan februari sama tak terduganya seperti suasana hati wanita. Atau barangkali matahari sedang berniat membalas dendam pada awan hitam, jadi ketika ada kesempatan, sang bintang paling terang menggunakannya untuk menyengat bumi habis-habisan. Sinarnya mengenai kap mobil, menyelubunginya dengan hawa panas, sehingga saat Mark Lee rehat sejenak di atasnya, dia merasa bagai ubi yang di bakar.
Dengan tangan terbenam di saku, Mark memasang wajah cemberut. Kap mobil bukanlah satu-satunya yang mendidih hari ini, kepalanya juga. Suasana hatinya sendiri belum pulih sejak di kantor polisi, dan itu diperparah oleh pencarian panjang yang tidak membuahkan hasil.
Percuma. Semua yang terjadi siang ini hanya menunjukkan bahwa kata harapan rupanya bersepupu dengan kata mustahil. Atau malah tidak ada bedanya? Mark menghela napas.
Tak jauh dari lokasinya duduk, didengarnya Jaemin mengeluh. "Siapa yang ngira kaca vending machine ternyata kuat?"
Jeno menyingsingkan lengan kemejanya. Kakinya terentang seolah hendak menaiki kuda, bukannya melempar batu ke benda persegi panjang tak bersalah yang berisi makanan ringan. "Sebelum ini kan kita nggak pernah harus ngelakuin pengrusakan."
"Apa istilah kerennya? Vandalisme?"
"Biar gampang kita sebut aja kenakalan remaja."
Tawa riang mengisi sudut jalan yang sepi itu.
Si kembar sedang serius sekarang, seserius yang mereka bisa, dan masing-masing berupaya memecahkan satu dari ratusan vending machine yang tersebar di seluruh Korea berbekal alat seadanya.
Apa saja selalu bisa mereka ubah menjadi kompetisi kecil-kecilan. Punya banyak kesamaan dan lebih banyak lagi perbedaan membuat keduanya sering bersaing untuk beragam tujuan; kasih sayang orang tua, prestasi di sekolah, pengakuan. Mark tidak cemas karena perlombaan mereka kerap berakhir dengan gelak tawa tak peduli siapa pemenangnya.
Setelah beberapa kali bertukar lelucon bercampur cemoohan, mereka sukses merampok vending machine itu lantas membungkus seluruh isinya dalam empat kantong plastik besar.
"Tangkap!" Jeno melempar sekaleng lemonade pada Mark.
Refleks yang bagus adalah kelebihan Mark, lemonade itu mendarat aman di genggamannya. "Nggak dingin?"
"Listriknya mati."
"Untung rumah kita nggak," celetuk Jaemin ringan.
Mark, yang membuka kaleng minumannya, sejujurnya sudah berhenti mempercayai keberuntungan. Dia percaya bumi itu bulat, takkan ada asap bila tak ada api, dan usaha yang tidak akan mengkhianati hasil, namun keberuntungan? Tidak. Tidak lagi. "Bukan nggak, Jaemin, tapi belum. Siapa yang tahu berapa lama kota ini bertahan? Kita mesti keluar dari Seoul secepatnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
What Makes Us Human ✔️
FanficJika hidup di tengah-tengah monster, unsur apa yang menjadikan kita manusia? Ketika sebuah pandemi mengguncang dunia, ekonomi banyak negara lumpuh dan masyarakat kalang kabut, sehingga saat ada yang mengklaim memiliki vaksin, mereka tidak berpikir p...