36 Bendera Kuning

10 2 0
                                    



Usai makan, Fatim berdiam diri di ruang musik, berlatih gitar untuk pementasan nanti.

Tek.

Senar 1 putus, membuat tangannya terluka. "Argh!" raung Fatim. Ia melihat tetesan darah yang yang menetes ke lantai.

"Ada apa, kok gue ngerasa gak enak?" gumamnya.

Ia melihat layar ponselnya. Tak lama ada telepon dari enyak.

"Fatim, balik sekarang."

Fatim langsung bergegas pulang ke rumah. Dengan terburu-buru ia menggoes sepeda, hingga jarinya mengeluarkan banyak darah karena terlalu menekan stang.

Sampailah ia di rumah kecilnya. Dilihat ada bendera juning terikat di kedua pagar rumahnya. Ia terdim melihat benda kuning yang melambai-lambai di matanya.

Dengan segra Fatim masuk ke dalam.

"Ade ape, Nyak?" tanya Fatim dengan hati gak karuan.

"Fatim, babeh, Tim!" raung enyak yang matanya merah dan lembab.

"Kenape, Nyak ? Babeh kenape?" tanya Fatim dengan menaikan nada bicaranya.

"Babeh lu!" raung enyak sambil menangis sesegukan.

"Enyak kenape?!" bentak Fatim.

Enyak tak kuat untuk menjelaskan ini. Lidahnya terasa keluh untuk mengungkap kebenaran ini. Fatim kesal melihat enyak hanya meronta-ronta dan menangis di hadapannya.

Fatim masuk ke dalam dan melihat ada seseorang di tutupi kain panjang. Fatim merasa sesak, badannya kaku untuk bergerak. Kakinya tak kuat menahan beban dirinya.

Fatim terjatuh di kaki babeh yang sudah tak bernyawa. Beberapa tetangga melihat Fatim yang sangat terpukul, ada juga yang sedang mengaji untuk babeh.

"Yang sahar ye, babeh  lo udah tenang di alam sane." Salah satu tetangga menenangkannya.

"Jadi, ini beneran?" tanya  Fatim dengan suara parau.

"Lo harus tabah," sambungnya.

"Babeeeeeeh!" teriak Fatim. Ia merangkak mendekati kepala babeh, membuka penutup wajahnya. Terlihat babeh wajahnya berseri-seri dan memancarkan cahaya dari wajahnya.

"Babeh, maafin Fatim, Beh. Fatim belum bisa jadi anak baik," raungnya, sambil mencium kening babeh. Tumpahlah air matanya sekarang.

Malamnya, Fatim berdiam di kamar. Ia sangat terpukul akan kepergian babeh untuk selamanya. Ia hanya bisa menatap foto dan video babeh yang pernah ia rekam di ponselnya.

Ada suatu benda yang babeh berikan padanya, yakni sepasang baju hitam yang mengartikan baju itu adalah baju silat. Babeh juga memberi Fatim double stick agar bisa menjaga dirinya saat dalam bahaya.

Fatim memeluk benda pemberian babeh, hingga ia tertidur.

Pagi datang begitu cepat, Fatim bersiap berangkat ke sekolah dengan hati yang masih kacau.

Di kelas ia tak banyak berinteraksi. Ia lebih sering menatap jendela dengan tatapan kosong. Tetes demi tetes air matanya lolos di pipinya.

"Fatim, gue udah denger tentang babeh lo. Gue harap lo yang kuat ya." Erika menenangkannya yang masih menatap jendela.

Erika dan beberapa teman lain menghibur Fatim yang sedang berduka. Hari ini seisi kelas menghiburnya, agar lukanya sedikit terobati.

"Makasih ya, kalian udah semangatin gue. Gue janji, mulai sekarang gue bakalan buktiin ke babeh gue, kalo gue bisa sukses," tekad Fatim dengan mengepalkan tangan kanannya yang dijunjung tinggi olehnya.

Semua teman-teman bersorak akan Fatim yang akan berubah dan tidak terpuruk lagi.

Kelas 11 IPS 2 mulai melatih aktingnya di kelas dengan banyak candaan, membuat Fatim sedikit melupakan kenangannya bersama babeh.

Jam sudah menunjukan pukul 12 siang, semua murid bersiap melaksanakan shalat berjamaah secara bergantian di mushala sekolah.

Fatim menatap cermin di hadapannya. Dengan sedikit air wudhu yang masih membasahi wajahnya. Lagi dan lagi ia tak bisa menahan air mata jatuh ke pipinya.

"Sejak kapan, seorang Fatim nangis?" tanya Puput sang kakak kelas.

Fatim mengelap air matanya lalu tersenyum memandang Puput.

"Pernah gak lo, kehilangan sosok orang yang paling lo sayang di dunia?" tanya Fatim penuh penekanan.

Puput menggelengkan kepalanya.

"Heuh, pantesan," ucap Fatim sinis.

"Gue denger kok, kalo babeh lo meninggal. Gua harap lo kuat." Puput menepuk pundak kanan Fatim lalu pergi.

Usai shalat, ia berdiam di klub musik seorang diri. Ia merasa saat ini hanyab dia saja seorang tanpa ada orang lain yang menemaninya.

Ia memandang piano yang pernah ia mainkan, perlahan pandangannya terhenti, ketika seseorang memainkan piano itu.

Teng teng teng.

Suara piano berayun di telinganya, seakan-akan mengajak Fatim untuk ikut memainkan piano. Fatim perlahan berjalan ke piano itu dan mengikuti aluman nada piano.

Lagu pun selesai, Fatim masih menatap piano dengan tatapan kosong. Siswa di sampingnya memeluk Fatim.

"Gue tau apa yang lo rasain sekarang. Gue gak bisa apa-apa," bisiknya.

"Gue harus apa sekarang?" lirih Fatim.

"Lo cuma bisa kuat, terima apa yang telah terjadi, dan berubah untuk babeh lo," bisiknya lagi.

"Abi, lo gak tau apa yang gue rasain," rengek Fatim, melepaskan pelukan Abi.

"Gue deket banget ame babeh gue," rengeknya lagi.

"Please, demi babeh lo. Lo harus kuat. Jangan jadi anak lemah kek gini." Abi menyemangatinya.

Fatim  ke luar begitu saja, tanpa ada kata terakhir yang Abi dengar dari mulutnya.

Fatim pulang ke rumah lebih awal dan sudah izin sebelumnya, agar nilai absennya tak jelek.

Di rumah sangat terasa sepi. Enyak juga melamun di dalam kamarnya, menatap foto yang terdapat babeh, enyak dan Fatim.

Fatim juga melakukan hal yang sama seperti enyaknya lakukan sekarang di kamarnya.

Tidurlah Fatim sembari memeluk foto keluarga. Malam pun tiba, Fatim terbangun dari tidurnya. Ia mandi agar merasakan kesegaran di dini hari.

Ia menggelar sejadah, memakai mukena putih bercorak bunga-bunga kecil, lalu shalat dua rakaat.

Usai itu ia bermunajat kepada Sang Pencipta dengan berlinang air mata.

Jam sudah menunjukan  pukul 5 pagi. Ia pun bergegas memasak lalu merapikan rumah.

"Nyak, ayo sarapan," ajak Fatim yang sudah berada di kamar enyak.

"Emang lo udah masak?" tanya enyak parau.

"Udah." Fatim tersenyum pada enyak, menandakan bahwa ia baik-baik saja.

Enya pun tersenyum lalu berjalan ke dapur bersama Fatim. Makanlah keduanya di meja makan yang kecil.

"Nyak, enyak harus kuat, babeh pasti sedih, kalo kita terus nangis. Aye yakin, babeh di sana pasti tenang," ujar Fatim, memeluk enyak usai makan.

"Ya udeh, lo berangkat sekolah sono. Udah siang, nih," titah enyak, diangguki Fatim.

***


Sedih sih, kalo gue mah.

Keknya kureng ngenain deh.

Ah, bagen amat gue mah.

Intinya jangan lupa vote yeh.

Makasih banyak yeh.


Cah Semprul ( Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang