Tangan menengadah ke langit. Wajahnya mendongak. Air mata mengalir tanpa batasan. Isakan pun membuat kepala sedikit angguk-anggukan.
Fatim berdoa dengan hidmatnya. Terus meminta kesembuhan atas enyaknya. Ia benar-benar tak memiliki siapapun lagi selain enyak.
Vidifa?
Vidi itu hanya titipan sementara, yang bisa kapanpun diambil oleh bapaknya. Tak sepenuhnya Vidi miliknya. Mungkin saja Vian berubah pikiran?
Usai dengan berdoanya, ia kembali ke Abi yang mengayun Vidi di gendongannya. Abi merasa ada sesuatu yang mendekat, ia pun menoleh.
"Udah doanya?" tanyanya dengan wajah khawatir.
Fatim hanya mengangguk sebagai jawaban, kemudian duduk di kursi tunggu. Abi mengikuti pergerakan kekasihnya.
Abi hanya menatapnya, tak ingin mengganggu pikirannya, makanya ia hanya diam saja.
Tak lama dokter keluar, ia memberi tahu keadaan pasien kepada Fatim dan Abi. Setelah mendengar penuturan dari dokter, Fatim tersenyum bahagia.
Ia segera masuk ke dalam. Dilihatnya enyak masih belum bangun paska diperiksa dokter.
***
Beberapa hari kemudian, enyak sudah ada di rumah. Fatim sedang sibuk dengan Vidi. Terlihat Abi masih ngebangke di atas kasur.
Vidi sudah rapi dan wangi, sedang Fatim terlihat sangat berantakan. Kaki panjang itu menoel-noel paha lelaki yang hampir membusuk.
"Bangun-bangun," titahnya dengan kaki masih menoelnya.
Abi belum terbangun juga. Fatim semakin keras menoelnya, namun tak bangun juga. Karena kesabarannya habis, ia pun menendangnya dengan sedikit keras.
"Aw-aw!" raung Abi, yang langsung duduk, dan mengelus pahanya.
"Ih, apan sih lo. Sakit bego!" kesalnya, dengan mata yang masih rapat.
"Bangun, Kehed. Gue mau mandi nih. Badan gue udeh bau iler lo nih," sungutnya, sambil menyodorkan Vidi padanya.
Abi dengan rasa ngantuknya yang melanda, ia menerima bayi itu, dan Fatim langsung pergi ke kamar mandi.
Vidi duduk di atas perut Abi yang kembali merebahkan tubuhnya. Vidi hanya melihat Abi yang tertidur. Merasa bosan, ia pun mulai merangkak.
Semakin jauh merangkak, kini ia berada di tepi kasur. Tangannya akan merangkak lagi. Naas, landasannya tak ada, hingga Vidi ngajongkeng ke depan.
Vidi jatuh dari kasur yang tak begitu tinggi. Suara tangisan terdengar. Vidi terjatuh dengan pelipisnya yang mendarat terlebih dahulu. Hampir jungkir balik, tapi bagusnya, Vidi memiliki pantas yang besar, hingga tak jadi jungkir balik.
Tangisannya semakin keras, tapi Abi tak bangun juga. Fatim keluar dari kamar mandi. Dari jauh, terdengar tangisan bayi yang kuat. Fatim segera berlari ke kamar dengan handuk yang masih menutupi tubuhnya yang belum mengenakan baju.
Didapatinya Vidi duduk sorang diri, celingak-celinguk dengan tangisannya. Tangan kurus itu bersiap menepuk pipi lelaki yang tidurnya bagaikan orang mati.
Plak!
Usai menamparnya, ia menggendong Vidi, lalu mengayun, guna menenangkannya, tanpa ia memikirkan pipi Abi yang pastinya merah.
Abi terbangun akan betapa perihnya tamparan itu. Ia bangun sambil mengelus pipinya. "Auuuuuh, apaan lagi sih? Gangguin gue aja," cercanya, meringis.
"Molor aja terus, molor. Mati sekalian lo!" pekiknya dengan penuh emosi.
"Apaan sih?" Abi mengulangi pertanyaannya.