Fatim kembali memandang dirinya yang pecundang. Ia melepas ikatan rambutnya dan membiarkannya terurai. Fatim merapikan rambutnya dengan jari jemarinya.
Usai menyisir rambut dengan jarinya, ia kembali mengikatnya dengan satu ikatan. Lalu ia kembali ke kelas.
Di kelas, Fatim disuguhkan dengan sebuah pertanyaan. Dengan santai Fatim menjawab benar. Semua memujinya , yang dapat menjelaskan pertanyaan Pak Jabal.
Padahal Fatim hanya menjawab dengan apa yang ia ingat dan ia juga menjawab sembarangan. Rupanya jawabannya benar. Fatim kembali duduk di kursinya.
Di kantin, Fatim masih memikirkan apa yang tadi Siska ucapkan padanya. Sambil menyuap nasi uduk, ia melamun.
"Fatim!" panggil Erika.
Fatim terdasar dari pikirannya, dan menatap Erika yang sudah berdiri di depannya. "Ngapa?" tanya Fatim datar.
"Udahan belum makannya?" tanya balik Erika.
"Lu gak liat, masih ada makanan di piring gue?" tanya Fatim.
"Lo ada masalah ya?" tanya balik Erika lagi.
"Emang lu mau ngomong apa?" tanya Fatim lagi.
Perasaan keduanya nanya mulu deh, kapan jawabnya. Kenapa saling sahutan bertanya? Apa keduanya sama-sama malas menjawab?
Erika selalu menceritakan masalahnya pada Fatim, karena Fatim selalu memberi solusi yang baik untuknya. Erika juga sadar, kalau Fatim banyak masalah. Namun dia masih sering minta solusi pada Fatim. Sedangkan Erika, jarang sekali mendengarkan keluhan dari Fatim, karena Fatim tidak sering memberitahu masalahnya.
"Lo cerita dong sama gue," pinta Erika yang kini sudah duduk di sampingnya.
"Gak perlu, lu pacaran aja sono," sindir Fatim, dengan wajah datar.
"Fatim, lo gak tau apa yang terjadi sama gue, pas gue jauh dari lo," rengek Erika.
Fatim terdiam, karena dia sudah menduga, apa yang akan terjadi pada Erika.
Fatim cepat menghabiskan makannya. Lalu menarik Erika ke toilet.
"Lu ada masalah apa sama si Bangsat?" tanya Fatim.
"Gue udah putus," sahut Erika dengan mata berkaca-kaca.
"Lu udah diapain sama dia?" tanya Fatim, khawatir akan obrolan Muslih waktu itu.
Erika menggelengkan kepalanya.
"Jujur," desak Fatim, dengan wajah dewasanya.
Erika menahan air matanya, agar tidak jatuh di depan Fatim. Namun tatapan Fatim membuat Erika lemah. Fatim memegang kedua bahu Erika dengan menatapnya tajam.
Tumpahlah air mata Erika saat ini juga. "Fatiiiiim!" raung Erika, sambil memeluk Fatim.
"Lu cerita sama gue," titahnya penuh ketegasan.
"Tapi gak di sini juga," lirih Erika.
Fatim langsung menarik tangan Erika, membawanya ke lorong sekolah yang jarang ada siswa nongkrong di sana.
"Ok, cerita sekarang."
"Dia selingkuhin gue. Kemarin gue lihat dia jalan sama cewe," rengeknya.
Fatim langsung mengambil ponsel dan menunjukan sebuah foto, yang pernah ia ambil waktu itu. "Ini bukan cewenya?" tanya Fatim.
"Bukan." Erika menggodegkan kepalanya.
"Sialan, jadi dia cewenya banyak," cerca Fatim kesal.
"Udah, jangan nangis ah. Jiji gue liat lu nangis," cetusnya, tanpa memikirkan perasaan sang pendengar.