Malam ini Fatim terlihat sangat lelah. Rian menghampirinya. Menyimpan tangan di salah satu bahunya. "Lo cape ya?" tanyanya halus, menatapnya dari samping."Ini gak seberapa, dari capenya gue nungguin dia," lirihnya, lalu berdiri menuju dapur.
Ia ingat, bahwa ia belum makan sejak tadi sore. Menghangatkan nasi di penghangat listrik, beserta ayam, masakan Rian.
Nasi sudah panas, ia mulai memakan dengan jemarinya yang kecil nan panjang. Mata Rian menatapnya gereget, ia pun duduk di sampingnya.
"Lo harus tau sesuatu," cakapnya pelan, tak ingin membuat sang pujaan gaket.
"Ape?" sahutnya, lemah, letih, lesu.
"Abi---dia udah nikah." Wajahnya menunjukan kekecewaan.
Kepala Fatim segera menolehnya. "Seriusan lo?" Matanya melotot hampir copot.
Rian memejamkan mata sambil mengangguk. "Iya, dia nikah sama Nesa."
Rasa lapar yang kelewat pun sudah tak terasa lagi. Ia sudah kenyang mendengar kabar berita tentang Abi, kekasihnya.
Tangannya masih memegang nasi, namun tak menahannya, hanya menyentuhnya saja. Kepalanya menengadah ke plafon rumah. "Huh, akhirnya, penantian gue berakhir," lirihnya penuh kepasrahan.
Berjalanlah menuju wastafel, mencuci tangan, lalu berjalan ke kamarnya, sambil mengepret-ngepret sisa air cuci tangan tadi.
Rian memejamkan mata, meresapi rintikan air dari jemari Fatim.
Duduklah Fatim di samping Vidi yang terlelap nyaman, dengan selimutnya.
"Vidi, papa kamu udah nikah," bisiknya, sambil mengusap perlahan punggung tangan Vidi dengan ibu jarinya.
Air mata tak terasa menetes, jatuh ke pipinya. Ingsrekan hidungnya pun terdengar jelas di ruangan ini.
Rian menghampirinya, duduk di samping Fatim. Kedua lutut insan ini berpadu.
"Fatim, gue tau kok, lo sayang sama Abi. Tapi lo harus sadar, yang nemenin lo saat Abi gak ada tuh gue. Gue akan selalu ada buat lo. Gue janji, gue akan sayangin lo dan Vidi," ucapnya penuh keyakinan.
"Abi juga bilangnya gitu. Tapi dia pergi. Berati--lo juga bakalan kaya gitu," pungkasnya acuh.
Tangan Rian menancap di kedua sisi bahu Fatim. "Fatim, gak semua laki-laki itu sama. Gue sama dia emang sahabatan, tapi sikap kami beda." Meyakinkan dengan sedikit menekan bahunya.
Fatim masih dalam tundukannya. Ia semakin terdiam. Tak ingin memikirkan masalah ini. Namun, tetap saja, air mata tak bisa diajak kompromi, ia malah jatuh menimpa pahanya.
Tetesan air bening itu terlihat jelas oleh mata Rian. Ia pun segera memeluknya, penuh kehangatan.
"Fatim, gue janji, bakal ada buat lo, di manapun dan kapanpun," bisiknya lagi, penuh keyakinan.
Fatim tak begitu menggubris ucapannya. Ia memilih diam, ketimbang menggerutu tak jelas. Tangan lemas itu mendorong dada Rian yang menempel ke dadanya.
"Awas, gue mau tidur," tandasnya, lalu merebahkan diri di tengah Rian dan Vidi.
Saat ini Fatim masih sulit diluluhkan. Mungkin besok atau lusa, karena lampu hijau akan segera menyala.
Paginya, Rian segera bangun. Bahkan matahari pun belum begitu memancarkan sinarnya. Ia segera pergi ke pasar, untuk membeli perlengkapan dapur, dan balitanya yang kini sudah dianggap menjadi anak sendiri.
Sepulangnya dari pasar, ia merapikan belanjaan dan dapur. Makanan sisa Fatim semalam masih belum dibersihkan. Ia juga membersihkan piring bekas Fatim yang tak menghabiskan makan malamnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/257534515-288-k101260.jpg)