Pagi yang terasa musim dingin. Angin kedinginan terasa merasuk ke tulang kaki. Namun pagi ini terasa berbeda. Pelukan yang tak dilepas membuat kehangatan tersendiri.
Fatim melihat Abi dengan wajah tampannya. Walau sedang tertidur, tapi kalo orang ganteng mah, ganteng we.
Fatim beranjak dari tidurnya, mengambil kemeja putih transparan besar, untuk menutupi tubuhnya yang tak mengenakan kain. Semalam hanya ditutup selimut saja.
Berdiri di bawah kucuran air dari shower. Menatap tubuhnya yang mungil. Memikirkan sesuatu yang menjijikan menurutnya.
"Rian, melakukannya tanpa sepengetahuan gue. Abi, gue sadar melakukannya. Wajar, enyak benci sama gue. Tapi gue melakukannya setelah gue pergi," bisiknya ke dalam dadanya.
Menyelesaikan mandi, karena ia harus segera pergi ke kampus.
Namun setelah keluar dari kamar mandi. Matanya menangkap bayi kecil yang duduk memainkan botol susunya.
Vidi menolehnya, lalu tersenyum. "Nda, cucu." Suara kecil itu terdengar samar di telinganya.
Fatim kaget dengan bayi ini. Kenapa dia bisa bicara?
Ia segera membuatkannya susu. Sedang si bayi berusaha turun dari ranjang, tanpa Fatim ketahui.
Sebuah tangan kecil menggoyangkan betis perempuan muda yang masih mengenakan handuk biru langit.
Perempuan itu menoleh ke bawah. Betapa kagetnya lagi ia, melihat Vidi berdiri. Ia segera menggendongnya.
"Yeee, anak bunda udah bisa jalaaaan," cicitnya dengan wajah gembira, bahkan kedua alis terangkat, tubuh sedikit menari-nari.
"Cucu," pekik Vidi dengan tangan yang terulur ke meja, mengingat susu masih di atas meja.
"Uh, iya-iya, Sayang." Fatim segera memberikan susu itu, sambil membawanya ke kasur.
Vidi duduk selonjorang, dengan bantal di punggungnya. Kali ini dia tak tidur saat minum susu.
Fatim merasa bahwa memiliki anak memang tak semudah dan segampang yang dipikirkan. Ia merasa bahwa lelahnya akan menjadi lillah.
Jam sudah menunjukan pukul 7 pagi. Ia sudah rapi dengan kemeja dan celana jeansnya. Fatim menyoren tas gendongnya di bahu kanan dengan beberapa buku diapit oleh tangan dan dada.
Tangan kirinya menggoyangkan kepala Abi. Memang lelaki satu ini susah bangun pagi.
"Bangun, Bi. Gue mau ngampus." Suaranya kali ini tak begitu keras. Padahal biasanya selalu membentak.
Abi langsung terbangun, mendengar suara lembut dari perempuan yang ia sayangi. Senyuman terpancar di bibir lelaki itu. Matanya masih susah terbuka, namun bisa sedikit melihat wajah Fatim.
"Hati-hati ya, Sayang." Abi mengelus pipinya dengan ibu jarinya.
Fatim tersenyum, lalu pergi. Saat akan melangkah melewati pintu, ia berkata, "Bi, anak gue jagain, Bego. Molor mulu," tegasnya sebelum pergi.
"Ya," sahutnya, telat 10 detik.
Ia pun bangun, untuk membersihkan wajah dan mulutnya.
Ke luar dari kamar mandi, ia melihat Vidi menggigit mainan yang terbuat dari karet. Mainan pisang itu sampai putus.
Abi segera berlari, mengambil mainan yang ada di dalam mukut anak angkatnya.
"Ya ampun, Vidi, ngapain makan ginian," raungnya, sambil membuang sisa karet di mulut sang bayi.
Ia menggendongnya. "Kamu mau makan?" tanyanya, dengan nada anak kecil.
"Ya udah, papa beliin makanan ya." Ia berjalan keluar, mengambil jaket, dan dompetnya yang tergeletak di atas meja.