Setiap hari Fatim berlatih dengan baik, agar sekolah menganggapnya. Karena selama sekolah, ia dikucilkan, bahkan dijauhi. Namun itu tak masalah baginya. Ia hanya tidak suka diremehkan.
Satu minggu berlalu. Kini dia sedang di sekolah, tengah menyiapkan mentalnya.
Beberapa tampilan dari murid lain telah selesai. Kini gilirannya untuk berpidato. Dengan persiapan yang matang, Fatim naik ke atas panggung.
Awalnya ia ditertawakan, namun setelah mic ia genggang, semuanya terdiam. Fatim menarik napas dalam-dalam, lalu mulai berpidato.
Saking lancarnya, setiap jiwa hanya terdiam dan melongo. Entah mengerti atau tidak, yang penting penampilannya saat ini, sangat keren.
Mereka tidak menyangka, bahwa Fatim selancar itu dalam pidatonya. Usai berpidato, mereka masih tercengang.
Datanglah sang pembawa acara mencairkan suasana. Lalu meminta mereka bertepuk tangan untuk Fatim. Turunlah Fatim dari panggung, dengan wajah bangga, dan wajah yang lurus menatap jalanan.
Semua orang yang hadir menyanjungnya, bahkan bukan hanya sekolahnya saja, ada beberapa sekolah lain yang menghadiri acara ini.
Jam sudah menujukan pukul 2 siang. Fatim harus tampil lagi untuk menyanyi. Mereka tahu bahwa suara Fatim itu sangat fals.
Fatim berkolaborasi dengan band Firman. Dengan sangat senang dan tak memperdulikan suara falsnya, ia terus saja bernyanyi. Tak jarang ia scream, membuat urat leher Fatim tercetak jelas menggurat.
Bagusnya suara Fatim cocok dengan lagu metal, sehingga mereka menikmati penampilan Fatim yang amburadul.
Lagu selesai, mengartikan tugas Fatim usai. Turulah ia dari panggung dengan sedikit kelelahan. Ia disambut oleh Erika.
"Gila, lo ambyar banget. Gue gak bangga jadi sahabat lo," ejeknya disengaja.
Fatim biasa saja, mendengar celotehan Erika.
"Bau lu," sambungnya.
Fatim malah memeluknya sambil tersenyum kecil. "Lo udah move on, kan?" tanyanya.
"Iyewh, jiji, Crut!" raung Erika, sambil mendorongnya.
"Gak usah peluk, bau lo," sambungnya lalu diam sejenak.
"Udah," katanya lagi, bermaksud menjawab pertanyaan Fatim.
"Wehehe, mantap jiwa," balasnya, sambil menunjukan kedua jempolnya. Erika mengajaknya makan bakso di pinggir jalan, yang masih dekat dengan sekolah.
Tanpa Fatim duga, di sana ada Erik yang menghadiri acara ini. Namun ia tak begitu memperdulikannya. Erik menghampiri Fatim yang sedang makan bakso.
"Gila, lo keren," sanjungnya dan dibalas senyuman, lalu duduk di samping Fatim dan menatapnya.
"Ngape?" tanya Fatim.
"Gue masih gak nyangkan bisa kenal sama cewe edan kaya lo," cakap Erik watados.
"Hahaha." Fatim dan Erika tertawa.
"Kagek tau aje lu," timpal Erika.
"Emamg dia kenapa?" Erik tak paham.
"Lebih dari edan," sambung Erika.
Fatim hanya tertawa. Dalam tawanya ia tak sengaja melirik ke arah lain, dan ia menangkap sosok Abi dengan seorang gadis.
Fatim melihat Abi tersenyum bahagia bersama gadis itu.
"Die sape? Ape die cewenye? Gue gak pernah ngeliet die ngengeh ampe begitu?" batin Fatim.