Sore ini nampak menyejukan. Apa lagi jika duduk di taman dengan sosok yang menyemangatkan.
Namun, di rumah Fatim nampak sedikit memanas. Pasalnya Vian mendatangi rumahnya. Ia berniat untuk melihat keadaan anaknya.
Enyak sangat geram akan perlakuannya yang tak mau bertanggung jawab atas anaknya. Ia juga sempat mendapatkan bogeman dari enyak.
Terdapat lebam di beberapa bagian tubuhnya. Untung saja ada Fatim yang mencegah enyak untuk meneruskan aksinya. Vian pun bisa terbebaskan.
Ia beristirahat di kamar Fatim, dengan menatap Vidi yang duduk sambil memainkan mainan yang Vian bawakan tadi.
Fatim menatapnya sinis dari samping. "Ke mana aja lo, baru nongol?" tanyanya.
"Lo kan tau, gue juga ada bayi di sono. Mana rumah lo jauh dari rumah mertua gue," keluhnya, merasa bahwa ia lelah jika harus setiap hari menjenguk anaknya.
Vian mengabaikan Fatim yang tengah merajuk. Ia kembali bermain dengan anaknya.
"Vidi cayang, anak papa cantik banget," pujinya sambil mencubit pelan bibi anaknya.
Fatim yang tengah menyetrika baju Vidi, langsung menoleh ke Vian.
"Ape lo kate? Vidi? Tau dari mana, tuh bocah gue kasih nama Vidi?" tanyanya dengan pupil mata yang membesar.
"Ah, berati kita sehati," sahutnya dengan senyuman.
"Kambing lo. Udah punya anak juga masih godain cewe lain. Emang mata babi lo," cercanya penuh emosi.
"Kok babi. Keranjang, Bego," sergahnya, membenarkan opsi Fatim.
"Lo babi," kesalnya, meneruskan kembali kegiatannya.
7.00 pm.
"Gue balik ya. Tolong urusin anak gue yang bener," pesannya, lalu pergi.
Sebelum pergi, ia memberikan beberapa uang untuk membeli susu dan beberapa perlengkapan lain untuk anaknya.
Fatim harus menerima uang itu, karena ia tak memiliki pekerjaan lain, ditambah sekarang ia tidak jualan martabak telor, mengingat kesibukannya yang sangat padat.
Di sisi lain. Terlihat Abi sudah keluar dari kampusnya. Ia melangkahkan kakinya cepat, ingin segera sampai di parkiran. Wajahnya menunjukan kekesalan.
Ia segera melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Seiring berputarnya roda, ia sampai di pekarangan rumah yang besar nan luas.
Rumah siapakah itu?
Jeng jeng jeng!
Abi segera masuk ke dalam. Ibu jarinya memencet bel.
Tak lama seseorang membuka pintu. Ya, biasanya pembantu yang membukakan pintu. Namun kali ini bukan, karena jadwal pembantu di rumahnya sangat berbeda. Jika malam telah tiba, mereka tidak akan menyuruh pembantu, kecuali jika darudat, mereka baru meminta bantuan ke pembantunya.
Pintu terbuka lebar, menunjukan sosok lelaki tinggi, kurus, dan tampan. Ia menatap Abi dengan tatapan sedikit merasakan ketidak enakan.
Tangan Abi segera meremas kerah baju lelaki ini. "Kita harus ngomong." Tanpa menunggu jawaban, ia menyeretnya ke dalam mobilnya.
Pintu mobil dikunci saat keduanya saling manatap.
"Maksud lo kemarin, apa?" tanyanya dengan tegas.
"Emang Fatim gak bilang?" Lelaki itu bertanya lagi, bukannya menjawab. Dasar bego.
"Sejak kapan sih, dia curhat ama gue. Gak pernah," sahutnya dengan wajah biasanya.