Malam ini Fatim tak bisa mengulang pelajarannya, sebab bayi ini menangis tak berhenti. Ia sangat bingung harus bagaimana? Belum lagi memikirkan alasan untuk membawa bayi ini ke rumah.
Abi nampak tak nyaman akan tangisan bayi ini. Ia pun berdiri di samping Fatim yang menggendong sambil mengayunkan bayi.
"Aaaah, berisik banget sih!" jeritnya dengan wajah kesal.
Fatim menatap Abi dengan harapan. "Gue harus pagimane, Bi. Kagek mungkin kan gue bawa nih bocah ke rumah. Bisa mati gue ame enyak," ungkapnya, mendongak menatap Abi.
"Bukan urusan gue," acuhnya, memalingkan pandangannya.
"Abiiiii, kok lo jahat amat ame gue," rengeknya.
Fatim menyeduh susu formula untuk bayi ini. Padahal bayi ini seharusnya masih minum asi, sungguh malang nasibnya, sama dengan dirinya.
Bayi ini terdiam, usai disodok oleh dot susu. Fatim masih menggendong bayi ini, menggoyangkan sedikit badannya sebagai ayunan.
Setelah tertidur, Fatim menyimpan bayi ini di meja, sedang ia merapikan lapaknya. Abi masih belum bisa menerima kedatangan bayi ini.
"Bi?" panggilnya pelan, usai perlengkapannya sudah terbungkus rapi.
Abi hanya menolehnya tanpa kata.
"Anterin gue balik ye," pintanya penuh harap.
Abi tanpa menjawab, berjalan menuju mobilnya, dengan keranjang di tangannya, untuk ia simpan di kursi belakang, mengingat ia juga harus memasukan sepeda ke bagasi.
Seiring berputarnya roda kehidupan, mobilnya sampai di pekarangan rumah kecil Fatim. Ia turun dengan bayi di gendongannya.
Membuka perlahan pintu rumah. Berjalan ke dalam dengan mengedarkan pandangan, ingin menemukan enyaknya.
Namun tak ada, mungkin enyak di dalam kamarnya. Ia pun masuk ke dalam dengan perlahan.Terlihat enyak terbaring nyaman di kasurnya.
Ia duduk di tepi kasur. "Nyak?" panggilnya pelan.
Tangan Fatim menggoyangkan kaki enyak. "Nyak?" panggilnya lagi.
Kini enyak pun bergerak, ia membalikan badannya menghadap Fatim. Mata yang baru bangun ini terbelalak, kala melihat bayi di gendongan anaknya.
"Bayi sape nih?" tanya enyak kaget, hingga duduk otomatis.
Fatim menjelaskan mengenai bayi ini.
"Tiiiim, Fatim. Lo pagimane sih. Buat kuliah aje gue kagek mampu, ape lagi nambah nih bayi," gerutu enyak setelah mendengar pengakuan anaknya.
Abi sedari tadi berdiri di depan pintu, perlahan masuk ke dalam. "Nyak, gak usah khawatir, Abi bakal bantu Fatim buat jagain anak ini," ucapnya ramah.
"Bi, gue udeh tue. Kagek bise ngurus bayi lagi," akunya, menolah kehadiran bayi ini.
"Nyak, Abi nanti bakal sering-sering ke sini, kok." Abi meyakinkan enyak.
"Tim, lo liet kaki gue dah," titah enyak.
Mata Fatim secara otomatis berjalan menuju kaki yang enyak tunjukan. Terdapat lebam berwarna biru keungu-unguan.
"Nih ngape, Nyak?" tanya Fatim kaget bukan main, perasaan enyak gak pergi-pergian.
"Gue abis jatoh. Makanye gue bilang, kagek bisa jaga nih bocah," ungkapnya dengan paraunya.
"Tapi enyak ngijinin aye jaga nih bocah, ape kagek?" tanya Fatim.