63. Ikut Andil Juga

16 2 0
                                    




Ayam terdengar berkokok, burung-burung bernyanyi dengan merdunya. Cahaya mata hari yang hangat menembus pentilasi udara di kamar Fatim, bahkan cahayanya menyilaukan, membuat mata yang terlelap itu terbuka.

Fatim dengan sikapnya yang sudah berubah, ia bangun dengan sendirinya. Ia harus benar-benar mengubah sikapnya, walaupun itu sangat membagongkan. Pasti akan sulit beradaptasi menjadi sosok dewasa.

Fatim selesai dengan baju kampusnya. Ia menggoyangkan kaki lelaki yang tidur di sampingnya.

"Woy, bangun," titahnya dengan suara masih serak.

"Ck, bangun ah. Gue mau berangkat nih," titahnya lagi.

Sejenak Fatim menatap mata Abi yang terlelap. Alisnya mengerut. "Lah, ngape nih bocah di mari? Die kan tidur di sono?" batin Fatim, memikirkan posisi Abi yang pindah.

"Waduh, minta dibogem nih bocah," cercanya dengan wajah kesal.

Pak.

Pak.

Pak.

Fatim memukul pahanya dengan kuat. " Kampret lo," umpatnya.

Dengan hal ini, Abi pun terbangun. Tangannya menatap tangan Fatim yang memukulinya terus menerus. "Fatim, sakit," jeritnya yang kini duduk.

"Apa sih?" tanyanya dengan mata yang dipaksa dibuka.

"Lo ngapain tidur di samping gue, hah?" geramnya.

"Gue takut. Lagian gue gak ngapa-ngapain, kok. Lo tenang aja. Gue bakal jaga kehormatan pacar gue," cicitnya dengan suara serak-serak ngebas gitu.

Fatim langsung terdiam, ia mengingat Rian yang ... sudahlah. Ia menepis pikirannya.

Menggelengkan kepala samar, untuk membuang pikirannya. "Oh iya, lo kan kuliah di Amerika?" Fatim teringat akan keanehan ini.

"Ya, gue udah pindah satu bulan yang lalu," sahutnya, sambil mengucek mata.

"Ngape lo kagek ngabarin gue?"

Mulut Abi terbuka untuk menjawab.

"Udahlah, bukan urusan gue. Lagian gak penting banget. Gue mau berangkat. Jaga Vidifa ye," titipnya lalu pergi ke luar.

"Vidifa?" pikir Abi dengan sedikit menunduk. "Dia udah ngasih nama nih bayi, bagus deh," sambungnya lalu melanjutkan tidur.

Beberapa jam kemudian, tangisan Vidifa terdengar jelas di telinga Abi. Ia pun terpaksa bangun. Ia menatapnya bingung, apa yang harus ia lakukan?

Abi memeriksa popok Vidi. Giginya nyengir melihat kotoran yang menempel. Tangannya mengipas angin di depan hidungnya.

Dengan gerakannya yang kaku, ia mengganti popok Vidi. Tak lama enyak datang dengan jalan pincangnya.

"Ngape, Bi?" tanya enyak yang sudah berdiri di depan pintu.

"Ini, Nyak. Dia berak," sahutnya sambil menunjuk Vidi.

"Eh, udah lo mandiin belom?"

"Mandi? Kayanya belum deh, Nyak."

"Fatim mane?" Enyak celingukan.

"Udah berangkat kuliah," sahutnya sayu, karena setelah ini ia harus memandikannya.

"Ya udeh. Lo mandiin die. Baknya ade di gudang. Gue simpen bekas si Fatim bayi," ucap enyak, lalu pergi dengan kaki pincangnya.

Abi membuang napas, sambil menurunkan bahunya. Dengan terpaksa ia menggendongnya dengan gendongan bayi yang nampak kain lebar dan panjang. Sedikit kesulitan, namun dengan gigihnya, ia berhasil menggendongnya.

Senyum bahagia terpancar, mengingat ia bisa melakukan ini tanpa Fatim. Ia juga membayangkan ia telah memiliki anak dengan Fatim---perempuan yang awalnya ia benci.

Ia berjalan ke gudang, mencari peralatan bayi, yang enyak bicarakan tadi. Sudah ketemu, ia mengambil keranjang kecil untuk sabun-sabun bayi, dan bak mandi bayi.

Ia memandikannya di kamar mandi, dengan air dingin. Ia sedikit kesulitan memandikannya, tapi bayi ini pintar, ia duduk dengan tenangnya, memainkan air.

Abi kembali tersenyum, padalah ia sempat kesal. Bayi ini pintar, atau mungkin suka dengan air? Usai memandikannya, ia segera menyelimutinya dengan handuk, digendongnya untuk dibawa ke kamar.

Membaringkannya, mengoles minyak telon, lalu bedak, kemudian memasangkan baju bayi yang lucu. Bayi ini sudah bisa duduk dengan sendirinya. Usai wangi dan cantik, Vidi menangis. Abi bingung lagi, apa yang harus ia lakukan?

Seketika ia mengingat Fatim yang tengah membuat susu. Mungkin ia lapar? Abi pun menyeduhkan susu bubuk di dot, dengan air dingin.

Vidi menolak, ia tak meminum susunya.

"Nih anak maunya apaan sih?" kesalnya. "Kamu mau susu anget?" tebaknya.

Bayi itu tersenyum. Abi merapatkan bibirnya. Ia menambahkan sedikit air panas ke dot itu, lalu diberikannya ke Vidi. Bayi ini langsung dibaringkan olehnya, dengan dot yang disedotnya.

Abi memegang dot itu, karena Vidi kecil belum bisa memegang sesuatu. Sambil berbaring juga, ia pun tak sadar, terlelap.

12.00 pm.

Abi terbangun, ia ingat bahwa harus segera ke kampus. Ia berjalan menuju kamar enyak.

Masuklah ia ke dalam. "Nyak, tolong titip Vidi sebentar. Aku mau mandi," pintanya dengan wajah tersenyum.

"Mane bayinye?" tanya enyak yang tengah berbaring.

"Masih tidur di kamarnya."

"Ya udah, mandi sono. Gue jagain die." Enyak bangun dari kasurnya, berjalan menuju kamar Fatim.

Saat enyak masuk, semerbak wangi bayi menyeruak ke dalam hidungnya. Mengingatkan ketika ia dan babeh mengurus Fatim kecil. Namin bayi yang lucu itu telah tumbuh dewasa.

Enyak duduk di samping Vidi yang tukang tidur di siang hari, karena sejak tadi, ia belum bangun.

Abi ke luar dari kamar mandi. Sudah wangi sampo dan sudah rapi dengan baju ke kampusnya. Segera Abi berpamitan pada enyak.

Awalnya memang enyak tak mau mengasuh nih bayi, tapi yang namanya orang tua, pasti akan andil dalam menolong anaknya walaupun tak diminta.

Enyak mengangguk, sebagai jawaban untuk Abi, Ia pun bisa lega untuk berangkat ke kampus.

Tak lama sesaat Abi pergi, Fatim datang. Segera ia menghampiri anak angkatnya.

"Nyak, Abi mane?" tanyanya sambil menaruh tas gendongnya di atas kursi belajarnya.

"Ngampus die," sahutnya yang sudah berbaring di samping Vidi.

"Vidifa udah di mandiin, Nyak?"

"Udeh ame bapaknye," sahutnya sedikit jail.

"Ih, Enyak. Apaan sih?" Fatim duduk di sisi kasur lainnya.

"Udeh sholat lo?" tanya enyak.

"Ah, iya. Belom, Nyak. Aye sholat dulu dah." Segera ia berlari ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelah itu ia shalat di kamarnya.

"Ya udeh, gue mau jagain warung ye." Enyak beranjak dari kasurnya, pergi menuju kamarnya. Ia juga akan shalat terlebih dahulu.

Fatim meraih tasnya, mulai mengisi tugas dari dosen.

Sedang Fokus mengisi tugas, tangisan Vidi terdengar. Ia segera berlari ke kasur. Terlihat Vidi sudah terduduk.

"Wah, anak bunda udah bangun?" Senyuman itu terpancar sangat indah di mata Vidi. Ia pun membalas senyuman dari bunda barunya.

Fatim mengganti popok, karena popok sebelumnya sudah sangan bau hangseur.

*Bau hangseur diambil dari bahasa sunda yang artinya bau pesing*

Fatim menggendong Vidi, berjalan menuju dapur. Ia akan membuat makanan untuk bayinya. Nasi yang hangat ini diblender, ditambah wortel yang ia kulub terlebih dahulu.

*Kulub=rebus*

Setelah bubur tim sudah siap. Fatim menyuapinya dengan perlahan.


***

Cah Semprul ( Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang