Malam ini terasa sangat dingin. Hujan masih mengguyur sebagian bumi.Fatim masuk ke dalam, menerobos pintu dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Usai mandi, ia berjalan dengan handuk yang menutupi bagian tengah tubuhnya. Berjalan menuju lemari.
Sambil ngahodhod, ia memakai baju.
*Ngahodhod=gemeteran karena dingin*
Dilihatnya Erika tengah ngebangke di samping Vidi yang terlelap cantik. Ia merasa lapar, usai seharian bekerja.
Ia berjalan ke dapur. Memanaskan sayur bayam tadi pagi. Makanan sudah siap disantap.
Crang!
Saat akan menyuap, terdengar sesuatu yang jatuh. Suara itu nampak sendok, atau mungkin koin?
Ia celingukan. Tersadar, bahwa dapur ini tak begitu terang, hanya ada satu lampu yang menyala, itupun remang-remang.
Ia lupa tak menyalakan semua lampu. Namun tak apa, ia tak takut akan kegelapan. Malahan lebih gelap hidupnya.
Ia mengabaikan suara itu, dan melanjutkan makan.
Crang!
Terdengar lagi. Mata Fatim melirik ke kanan. Telinganya mendengar apa yang terdengar. Pikirannya memikirkan sesuatu.
Rttttrrrrr.
Lampu berkedip cepat, layaknya konslet, lalu akan mati, tapi menyala lagi.
"Perasaan ini apartement bagus dah. Ngape lampunye kek kena aer ujan?" herannya yang menatap lampu.
Ia kembali mengabaikan itu, merasa laparnya tak tertahan.
Derap langkah terdengar samar. Fatim merasakan ada sesuatu yang mendekat. Namun ia bersikap biasa.
Hap!
Sebuah tangan merangkul lehernya, hampir mencekik.
Tek---
Tangan Fatim menahan lengan itu, hingga ia tak jadi tercekik.
"Bangsat! Gue laper, Anjing. Tunggu kelar makan dulu ape!?" geramnya, sambil ngomel.
Ditengoknya orang yang hampir mencekiknya. "Anjing, apa-apaan sih lo? Gak ada kerjaan lain apa?" kesalnya, lalu menjauhkan tangannya.
Fatim kembali menyuap, setelah mengetahui siapa yang nenyerangnya.
"Lo gak takut?" tanyanya heran.
"Rian, Anjing. Gue kepret ye?" tawarnya penuh penekanan.
"Lepasin gue," sambungnya.
Rian pun melepaskan rangkulannya, tersenyum, lalu duduk di sampingnya.
"Lo kok di sini? Ini kan apartemen si Abi?" ungkapnya sambil celingukan.
"Emang."
"Ya, kenapa?"
"Au," sahut Fatim, singkat.
"Dianya ke mana?" tanya Rian, kepo.
"Mati kali. Udah beberapa bulan die kagek ke mari." Berdiri untuk kemudian berjalan ke wastafel. Mencuci piring yang barusan dipakai.
"Oh iya. Akhir-akhir ini gue gak liat lo di kampus," tukas Rian, sedikit bertanya, tapi dia tak enak untuk bertanya langsung.
"Udeh gak kuliah gue," sahutnya, sambil melangkah meninggalkan dapur.
Rian menangkap tangannya saat ia melintas di sampingnya. "Kenapa?"
"Bukan urusan lo." Fatim menepis tangannya keras.
Pes.
Lampu tiba-tiba mati.
"Aduh, apartement murah kali nih. Masa mati lampu mulu, ujan dikit doangan ge," gerutunya sambil berjalan ke kamar. Dengan Rian yang masih nempel di tangannya.
Fatim masuk ke kamar, terlihat Erika sudah bangun, sambil memainkan ponselnya.
Fatim langsung memundurkan langkahnya, menyembunyikan Rian yang mengintilinya.
"Fat, itu lo?" Erika menghentikan kegiatannya, setelah mendengar kaki yang berisik.
"I-iya. Gue udeh balik," sahutnya di balik kegelapan.
"Sini apa, gue mau balik, nih," titahnya cepat.
"B-bentar. G-gue masih sibuk," tolak Fatim terdengar gugup.
Sebenarnya itu bukan gugup, melainkan Rian yang memeluknya, dan Fatim berusaha mendorongnya, tapi Rian terus saja berusaha memeluknya di kegelapan ini.
Bray!
Lampu menyala, menunjukan Rian yang memeluk Fatim, dan Fatim mendorong mukanya agar tak dekat padanya.
Erika melotot melihat itu. "Woy, apa-apaan lo!?" teriaknya, menghentikan Rian yang berusaha memeluk temannya.
Iya pun berjalan menghampirinya. Tangannya menarik Fatim dengan cepat.
"Fatim, lo apa-apaan sih? Kan lo udah ada Abi. Ngapain lo masih mepet cowo lain?" tanyanya penuh kesalah pahaman.
"Lah, gue pikir lo bakal belain gue?" kira Fatim.
"Lo siapa? Kok ada di sini?" Rian ikut mengajukan pertanyaan pada Erika.
"Fatim, lo kok jadi gini sih? Gue tau, lo lagi miskin. Tapi bukan berati lo jadi mau apa siapa aja," sungut Erika tak berhenti.
"Erika, lo apa-apaan sih? Kok nyalahin gue?" Alis Fatim mengernyit.
"Gue liat kok, lo pelukan ama dia," dalih Erika kesal.
"Ya, tapi gue gak ada niat selingkuh," bela Fatim.
"Sayang, itu anak kita?" tanya Rian yang tak sengaja melihat ke kasur.
Ia berjalan menghampiri bayi perempuan itu. "Cantik ya, kaya kamu," sanjungnya, tanpa memikirkan perselisihan antara Erika dan Fatim.
"Oh, jadi sebenernya nih anak, emang anak lo ama dia?"
"Erika, lo goblok ya? Kan tuh anak, anak Dila. Bukan anak gue, Bego," belanya mati-matian.
"Alah, gue kecewa ama lo. Mentang-mentang Abi gak ada. Lo jadi ama cowo laen. Gak nyangka gue. Ternyata lo lebih picik dari gue," cacinya sambil berjalan pergi.
Fatim hanya berdiri lemas akan kesalah pahaman ini.
Setelah berdiri lemas. Ia bergegas berjalan ke kasur. Menjambak rambut Rian dengan kuat.
"Pergi lo, pergi, pergi," usirnya, sambil menariknya.
"Aw-aw, sakit." Rian menahan tangan Fatim.
Dihempasnya Rian ke lantai. Matanya menyala, telunjuknya jelas menunjuk batang hidungnya. "Gak pergi, gue gebukin lo," ucapnya penuh ancaman.
Glek.
Ia hanya menelan salivanya. Ingin bermain, tapi alangkah baiknya jangan dulu. Fatim sedang PMS mungkin?
Ia pun berjalan ke ruang tengah. Menyalakan TV untuk menemaninya.
***
Part ini segini aja kali ya.
Aku lagi badmood nih.
Mungkin karena pengen nangis.
Au, gue mikirin apaan.
Pen tidur kali.
Tolong divote dan komen ya.
Makasih banyak.
Riyadh, 5.45 pm, fri march, 2022.