Kini Vian terjebak dalam jerat pernikahan.
7 bulan berlalu dengan sangat cepat. Dila kini sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan.
Sebenarnya Vian lebih sayang ke gadis pertama, dibanding Dila. Mengingat, gadis pertama lebih kalem.
Dila menggenggam tangan Vian saat melahirkan. Sangat tak ingin ditinggal oleh suaminya ini.
Tak lama kemudian, sang bayi keluar. Raut wajah lelah, kini menjadi bahagia, terbayarkan sudah, sakit yang ia alami.
Perlahan deteksi jantung melemah, bersamaan dengan jatuhnya kepala Dila ke bantal.
Dokter segera menanganinya. Naas, Dila tak terselamatkan, karena banyaknya darah yang mengiringi bayinya. Kini bayinya menjadi piatu. Padahal baru beberapa menit ia menghirup udara di dunia.
Keluarga besarnya sangat terpukul akan kepergian Dila.
Saat pemakanan, papa dan mama Dila mengundang Fatim. Ia sangat sedih akan takdir ini. Mau bagaimana? Allah sudah menjemputnya.
Hari semakin sore, Fatim bergegas ke rumahnya. Di rumah, terlihat enyak duduk bersandar di kursi kayu, dengan TV yang menyala.
"Nyak, kok gak tidur di dalem?" tanya Fatim, dengan suara pelan.
"Pegel gue di dalem mulu, Tim," sahut enyak sayu.
"Enyak kenapa?" tanya Fatim, yang berjalan mendekati enyak, lalu duduk di lantai, menghadap enyak.
"Kagek ngape-ngape gue. Udah sono lo tidur," titah enyak, tak menghiraukan kekhawatiran anaknya.
Fatim berdiri, tangannya meraih enyak untuk dibopong ke kamar. Keduanya berjalan perlahan ke dalam kamar enyak.
"Nyak." Fatim duduk di samping enyak yang rebahan di kasur.
Wajah Fatim nampak murung.
"Lo ngape?" tanya enyak, dengan wajah menuanya.
"Aye sayang ame Enyak. Aye kagek mau enyak sakit. Aye kagek ngape-ngaope kok, Enyak marahin aye tiap ari. Tapi, Enyak jangan sakit," lirihnya, matanya sedikit berair.
"Apaan sih lo?"
"Nyak, kapan terakhri kali enyak peluk aye?" tanyanya, dengan wajah yang memerah.
Enyak terdiam, ia sadar, bahwa sangat jarang sekali enyak memeluk anak gadisnya ini. Enyak menatap wajah Fatim yang mulai bergetar.
Segera Fatim menubruk dada enyaknya, untuk dipeluk. Enyak pun membalas pelukan anaknya.
"Nyak, aye cape," lirihnya, dengan air mata yang kini sudah dapat mengalir bebas di pipinya.
"Maafin enyak ye, udah jarang banget sayangin elo," balas enyak, yang kini mulai berlinang air di matanya.
"Nyak, sebenernya aye banyak banget masalah di sekolah," ungkapnya.
"Ngape kagek bilang ame gue?"
"Aye tau, Enyak pasti cape. Jualan seharian, terus ngurusin keperluan aye buat jualan. Jadi, aye pendem sendirian aje," dalihnya.
Hening, hanya terdengar isakan dari keduanya.
"Nyak?" panggilnya parau.
"Aye mau tidur ame Enyak," pintanya, sambil melepaskan pelukan, lalu merebahkan diri di samping enyak. Pelukan pun ia berikan lagi pada enyak.