Sori ini, Fatim terlelap akan kelelahannya. Abi juga ikut memejamkan maya di atas kursi, dengan kepala yang sedikit ditaruh di samping tangan Fatim.
9.00 pm.
Mata sayu itu perlahan terbuka. Mendapati Abi tidur dilipatan tangannay sendiri. Fatim menyisir rambut Abi dengan jemarinya, menunjukan wajah tampannya yang tengah tidur.
Perlahan Fatim melepaskan jarum yang menancap di tangan kanannya. Dengan rasa sakit yang rasakannya, ia tetap melepaskan jarum yang lumayan panjang itu.
Fatim beranjak dari bed yang sangat tidak nyaman baginya. Berjalanlah ia dengan sedikit lemah. Ia pulang ke rumah dengan baju yang sudah diganti sebelum pergi dari ruang rawatnya.
Ia tak memikirkan Abi sama sekali. Di pikirkannya sekarang adalah enyak. Dengan cepat ia memanggil ojek yang sedang mangkal di sekitar rumah sakit, lalu pergi menuju rumahnya.
"Assalamualaikum!"
Tak ada jawaban, Fatim masuk saja.
"Kurang malem, Tim, baliknya," sergah enyak dari dalam kamarnya.
"Hehehe, maaf, Nyak. Macet di jalan," elak Fatim.
"Besok lo jualan agak sore ye."
"Ngaope, Nyak? Kan biasanye jam 2?"
"Bantuin gue di warung, besok banyak pesenan."
"Siapnya." Fatim masuk ke kamarnya, untuk beristirahat.
Paginya, Abi terbangun. Matanya segera mencari Fatim. Namun tak ada makhluk menyebalkan yang tertidur di kasur rawat. Mata lelaki itu membulat.
Ia segera berlari dari ruangan itu, menuju parkiran. Ia melajukan mobilnya ke rumah Fatim.
Sesampainya di pekarangan rumah Fatim, Ia segera mencari bebenguknya. Ia melihat banyak orang mengerumuni rumah Fatim.
"Gila lo ya? Luka lo masih basah!" sergah Abi seraya menarik lengaknya.
"Suuuut." Fatim menutup mulut Abi dengan telunjuknya, lalu menariknya ke belakang kerumunan warga, alias pembeli.
"Jangan bilangin kejadian ini ke enyak," tekan Fatim, dengan mata serius.
"T-tapi--"
"Gak ada tapi-tapi," potong Fatim.
Fatim menunjuk ke warung enyak, diikuti dengan mata Abi yang mengikuti arah telunjuk Fatim. "Lo loat warung enyak gue, sape lagi kalo bukan gue?" tekannya.
"Ya udah, gue bantu." Abi berjalan ke warung dan membantu enyak.
Mata pelanggan langsung berbinar, melihat bebenguk Abi yang waw bagi mereka. Tak ada lelaki tampan sepetinya di kampung ini.
Dari kejauhan, Fatim tersenyum melihat Abi yang mulai bisa berbaur dengan rakyat.
Saat Fatim akan membantu, Abi melarangnya dan menyuruhnya untuk duduk saja dan memberitahu pesanan saja.
Hari ini langit cepat bekerja, udah sore aja. Enyak tutup lebih awal, toh dagangannya sudah habis. Alhamdulillah warteg enyak rame.
Enyak mengajak anak gadisnya dan Abi makan di sore ini.
Di meja makan, ketiganya makan dengan lahap. Sejak jualan mereka tidak makan, karena disibukan oleh pelanggan sialan yang tak berhenti.
"Argh," rintih Fatim, sambil memegang luka jahitannya.
"Ngaoe?" tanya enyak yang mendengar rintihannya.
Fatim menggelengkan kepala sebagai jawaban. Ia beranjak dari kursi, lalu pergi ke kamarnya.
Di kamar, ia memeriksa lukanya. Terdapat darah yang hampir menembus kaosnya. Ia segera meraih bolot minum yang sudah terisi air.
Fatim mengambil kaos yang tak terpakai di dalam lemarinya. Membasahi kaos itu dengan air, lalu mengelap lukanya dengan kaos yang sudah basah itu.
"Nyak?" panggil Abi.
"Ngape?"
"Boleh masuk kamar Fatim gak?"
"Ngapain?" tanya enyak.
"Ah, ya udah masuk aje. Paling kalo jail, lo abis digebukin die," sambung enyak dengan cekikikan.
Masuklah Abi ke kamar Fatim. Terlihat Fatim tengah membersihkan darah di area perutnya. Duduklah Abi di sampingnya.
"Kenapa gak minta tolong ke gue sih?" kesalnya, sambil merampas kaos basah itu.
"Gue gak biasa ngerepotin orang." Fatim berusaha melepas perbannya.
"Ga biasa kata lo? Kalo gini Lo nyusahin, namanya," kesal Abi.
Abi perlahan membuka perbannya, lalu mengoleskan krim yang ada. Fatim tak memiliki banyak peralatan obat. Perban baru ditempel lagi di kula itu.
"Makasih," ucap Fatim.
"Kalo lo sembarangan ngobatinnya, bisa-bisa infeksi," ujarnya.
" Iye, Pak Dokter, iye," goda Fatim.
"Lagi payah gini, masih sempetnya lo godain gue," cicitnya.
"Lagian serius banget."
"Ini luka serius, Kucrut," tekan Abi.
"Bodo amat." Fatim menunjukan wajah cueknya.
"Ish." Abi menyubit hidung Fatim, lalu menggoyangkannya, hingga Fatim mengernyit wajahnya.
Tak lama, hanya beberapa detik saja, Abi pun melepaskan jemari yang mencubit hidung gadis itu. Terlihat merah sekali ujung hidung gadis ini.
"Kaya badut lo, hahaha." Abi tertawa nikmat.
"Gak ondel-ondel, sekalian?" timpalnya, kesal.
"Gak jelas lo, ondel-ondel di bawa-bawa."
"Lo gak balik?" Fatim mengalihkan pembicaraannya.
"Aduh, gue lupa, harus nganter nyokap." Abi langsung berlari dan berpamitan pada enyak.
Fatim bernapas lega, menyaksikan Abi pergi dari kamarnya.
Ting.
Pesan masuk ke ponselnya.
Erik.
Kamu di mana?
Di rumah
Jadi jalan gak
Gue gak bisa jalan sekarang
Kenapa. Lo sakit?
Ada kejadian kecil
Lo kenapa?
Kagek
ReadErik tak menjawab pesan darinya. Ia segera beranjak dari kasur, untuk menuju bagasi. Melajulah motor besar itu dengan bebenguknya, menuju arah rumah Fatim.
Alasannya klasik, hanya karena Fatim tak menepati janjinya. Padahal, Fatim bukan tipe orang yang suka ingkar janji. Makanya ia segera mendatangi rumahnya.
***
Uh, kelar juga nih part.
Jangan lupa klik bintang kiri bawah. buat bintangnya berwarna orange.
Makasih ya.
Isi juga lokom, eh, kolom komentarnye.
Makasih lagi ya.