"Abi, cepet mandi!" teriaknya yang masih berada di dalam kamar mandi.
Abi memasang wajah datar. "Ngapain lo tereak sih. Pengang kuping gue," kesalnya, berjalan pelan ke kamar mandi.
"Lagian lo kek bocah aja. Main ujanan kagek mau mandi," gerutu Fatim, sambil berjalan ke luar dari kamar mandi, saat Abi masuk ke dalam.
Fatim memasak sup dengan bahan yang telah Abi beli. Sesekali ia juga memeriksa makalah yang sampai saat ini belum selesai.
Tak lama Abi selesai dengan mandinya. Terlihat ia berjalan menuju kamar, sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil, dan kejantanannya di tutup dengan handuk yang agak besar.
Sup dan nasi sudah siap. Ia sangat senang, akhirnya ia bisa makan enak, walaupun dengan sup bohongan, karena tak dikasih ayam, hanya sayurannya saja.
Ia berjalan ke kamar, berniat mengajak Abi makan. Namun saat sampai di kamar, ia melihat Abi telah terpejam sambil memeluk Vidi.
Fatim melihatnya sangat tenang. Senyuman manis terlukis di bibirnya secara tak sengaja. Berjalan perlahan menghampiri kasur.
"Bi, lo tuh cakepnya gak ada obat. Tapi ngape lo mau ame gue yang jelek, dan kagek ade gunenye. Gue malu ama gue sendiri," keluhnya, dengan tangan yang mengelus halus pipi Abi, tanpa ia sadari.
Doweng!
Sedang asik mengelus pipi. Mata pemilik pipi itu terbuka secara cepat. Fatim langsung menarik tangannya, lalu meluruskan punggungnya.
Ia nampak gugup, apa yang harus ia basa-basikan? Abi tersenyum melihat kesaltingan Fatim yang jarang sekali ia lihat.
"Lo udah makan?" tanyanya, yang sudah duduk.
"B-belum," jawab Fatim gugup, bahkan ia menundukan kepalanya.
Abi berjalan menuju dapur, sambil menarik Fatim.
"Lo masak apa?" tanya Abi saat sudah berdiri di depan meja makan.
"Sup sama nasi aja sih. Gue gak bisa masak soalnya," akunya, dengan wajah yang masih menunduk.
"Pala lo berat ya?" godanya, sambil menurunkan wajahnya, agar dapat melihat ekspresi Fatim.
Fatim melihat wajah Abi di bawah wajahnya, ia pun meluruskan pandangannya, berjalan menuju kompor, menyendok sayur ke mangkok, lalu memberikannya pada Abi.
Nasi sudah tersedia di meja, bahkan dengan rise cooker-nya. Maksudnya agar tetap hangat saja. Keduanya pun makan tanpa adanya suara.
Suara petir kembali terdengar. Fatim tak sengaja melempar sendoknya ke piring. Abi tak kaget akan suara petir itu, melainkan dengan bentrokan sendok dan piring.
Abi tersenyum melihat Fatim yang ketakutan. "Lo bisa, idup sendirian?" tanyanya yang masih cekikikan.
"Bisa." Fatim menetralkan ketegangannya, lalu menghabiskan makannya.
Usai makan, ia merapikan meja, lalu mencuci piring. Angin malam ini sangat kuat, terasa sekali dinginnya sampai ke sum-sum.
Fatim terlihat bergetar saat mencuci piring. Ingin segera selesai. Tapi masih belum selesai juga, bahkan giginya kekeretekan sendiri.
Pelukan tita-tiba merangkul di punggungnya. Mata Fatim membulat, gerakannya terhenti. Kaku, ia tak bisa menggerakan tubuhnya.
Sebuah kepala terselip di lehernya yang panjang nan kurus. Ia semakin kaku.
"Lo dingin, kan?" tanya Abi yang merangkulnya.
Fatim hanya mengangguk kaku. "Eh, enggak-enggak." Mengalihkan jawaban pertamanya.