73. Kepergok

9 0 0
                                    

Malam ini, terasa sedikit dingin. Anginnya merasuk ke dalam rusuk, menggerogoti sumsum  yang bersembunyi di dalam tulang.

Vian, Rian, dan Vidi masih bermain ceria. Pasalnya Vidi susah sekali ditidurkan. Bagaimana tidak, yang menjaganya para bandot, akan sedikit susah.

Bukannya diajak tidur, mareka mengajaknya bermain berbagai permainan. Hingga Vidi tak merasa ngantuk.

Sesampainya di rumah, Fatim kaget, mendengar cekikikan dari ketiganya. Segera berlari ke kamar.

"Ya ampun, ngape anak gue belum tidur,?" geramnya sambil berjalan, merangkul Vidi lalu menggendongnya.

"Gak mau tidur dia," bela Vian, yang mengikuti Fatim dengan matanya.

"Gini nih, kalo dijagain ama bandot. Bukannya disuruh tidur, malah maen. Jam berape ini? Noh, liat jam," celotehnya, sambil mengayunkan Vidi dengan tubuhnya.

Fatim berjalan ke sisi kasur lain, mengambil kain untuk menggendongnya.

Ia membuat susu untuk menidurkan anaknya. Sambil sedikit bersenandung, Vidi pun bisa terlelap di gendongannya.

Kedua lelaki yang melihatnya sangat haru dengan Fatim yang masih muda, tapi memiliki sifat keibuan.

Vian berdiri, seraya berkata, "Fatim, lo puas-puasin dah malem ini sama anak gue. Besok pagi, gue bawa dia ke rumah nyokap gue." Berjalan ke pintu.

Kaki panjang Fatim langsung terulur untuk menyandungnya. "Ngomong apaan lo?" Suaranya terdengar berat.

"Gak ada pengulangan," timpalnya, lalu bangun, tanpa mempermasalahkan ia yang jatuh karena kaki Fatim yang selalu elastis.

Fatim langsung tersentak, melihat kepergian Vian dari kamarnya. Matanya masih bulat menatap pintu yang terbuka lebar.

Perlahan kakinya melangkah menuju kasur, merebahkan Vidi di kasur yang sudah ia singkap dengan kakinya. Pasalnya, banyak sekali mainan di atas kasur.

Usai merebahkan anaknya, Fatim terduduk bingung di hadapan Rian.

"Huh, sedih banget idup gue ya? Abis diusir enyak, ditinggalin Abi, terus sekarang, anak yang gue urus dari bayi, mau diambil ame bapaknye. Kenapa sih, cobaan gue dateng bertubi-tubi," lirihnya, dengan pundak yang turun.

Rian memeluknya dari samping. "Sabar ya, ini ujian," bisiknya.

Tetesan air mata itu terjatuh, dengan singkat. Isakan mulai terdengar, bersamaan dengan tubuhnya yang bergetar.

Rian sangat tau, bahwa Fatim akan menangis. Ia membelokan tubuh Fatim, agar saling berhadapan.

Jemarinya menyelipkan poni Fatim yang sudah panjang, ke sudut telinganya. "Gue gak akan pergi dari lo," yakinnya, dan kembali memeluk.

Selesai menenangkan diri, Fatim pun membersihkan diri. Sangat lama sekali Fatim di kamar mandi.

Rian merasa sedikit khawatir, kalau dia akan bunuh diri, saking stresnya.

Ia pun menggedor pintu dengan keras. "Fatim, ngapain lo di dalem? Keluar, jangan lama-lama di situ!" teriaknya dengan tangan yang terus menggedor.

Beberapa detik kemudian, Fatim keluar dengan perlahan. Mata Rian melotot, melihat Fatim dengan rambut pendeknya.

"Fa-Fatim?"

Fatim yang menunduk, lalu mendongak, menatapnya, lalu tersenyum. "Apa?" tanyanya, lalu berlalu dari hadapan Rian. Senyumannya kembali larut, saat sudah memunggunginya.

Berbaringlah ia di samping Vidi. Ia juga ingin segera masuk ke alam bawah sadarnya, untuk beristirahat.

Rian menyusul." Fat, lo ga makan?" tanyanya yang sudah ada di kamar.

"Gak laper gue," timpalnya dingin, lalu membangke di samping anaknya.

***

Satu minggu telah berlalu dengan sedikit bimbang. Vidi sudah dibawa Vian, kini tinggal ia dan Rian yang sibuk dengan kuliahnya. Ia hanya sibuk memperbanyak uang yang entah kapan akan banyak?

Malam ini ia sendirian, di kamar yang sudah penuh dengan coretan bekas Vidi. Sedang melamun dengan pikirannya di atas kasur, terdengar pintu diketuk.

Ia segera menghampiri ketukan pintu. Namun sebelum dibuka, ia noong terlebih dahulu di lubang kecil. 

"Rian? Ngapain malem-malem di mari?" Ia perlahan membuka pintu.

"Ngapain lo?" tanyanya sinis.

"Kok, nanyanya gitu? Kita kan udah baikan?" sahut Rian dengan senyuman.

"Mau tidur gue," ucapnya acuh.

"Gue bawain belanjaan buat lo." Menunjukan beberapa kantong plastik besar di kedua sisi tangannya.

Fatim dibuat tersenyum olehnya, mengingat ia juga belum sempat belanja.

"Boleh gue masuk?"

Fatim memberikan jalan untuknya, sambil ia juga berjalan ke dalam, membiarkan Rian untuk menutup pintu. Ditaruhnya belanjaan itu di dapur. Tapi ada beberapa kantong yang dibawa ke ruang tamu.

"Nih, jajanan," tunjuk Rian, sembari menyimpan kantong itu.

Fatim mengambil salah satu chips, untuk ia nikmati. Tangan Rian menyalakan TV.

"Napain lo nyalain TV, film drakor lagi?" cercanya, sambil memakan chips.

"Ya Allah, aku kan pengen nikmatin malam ini sama kamu. Besok aku ada tugas dari kampus untuk ngajar di kota lain. Jadi, beberapa minggu ke depan, kita gak ketemu," tuturnya, yang masih berusaha menyimak film.

Fatim mengangguk. "Oh."

Jeleger!

Suara petir mengusik gendang telinga, hingga membuat Fatim terlonjak kaget. Seketika terdengar hujan bergemuruh.

10.01 PM.

Terlihat keduanya asik menonton drakor alias drama Korea. Sesekali Rian menggodanya, Tapi Fatim masih agak sedikit dingin.

Seiring berdetaknya jarum jam, Rian semakin mepet ke pundak Fatim. Perlahan tangan lelaki itu menancap di pinggang permpuan yang tengah duduk di sampingnya.

Fatim menoleh, dan dibalas senyuman oleh Rian, hingga giginya terlihat.

"Lo senyum apa nyengir sih, aneh gue," ejek Fatim dengan senyum sinis.

"Sebenarnya gue ada niat buat nikahin lo, abis tugas nanti," ungkapnya.

"Apa?!" Fatim terkejut. Matanya melotot menatap Rian.

"Lo mau kan, nikah ama gue?"

"Ta-tapi--"

Telunjuknya menutup segera bibir tipis Fatim. Perlahan mendekatkan wajahnya. menarik jemarinya, lalu menggantikan posisi jari dengan bibirnya.

Bibir keduanya menempel, kedua mata saling menatap. Perlahan bibir Rian melumat bibir lembut itu. 

Terlihat seseorang masuk ke dalam apartement. Berjalan perlahan mengikuti lampu yang redup. Matanya terbelalak saat melihat penampakan yang sangat membuat emosi.

Dengan bermodalkan cahaya yang redup, lelaki yang baru datang itu dapat melihat jelas, apa yang tengah berlangsung di hadapannya.

Sofa yang pernah ia gunakan untuk bercengkrama dengan Fatim, kini digunakan bersama lelaki lain.

"Fatim!" teriak lelaki bertubuh kekar nan tinggi.

Mata Fatim terbelalak, mendengar suara yang ngebas itu. Bahkan tak asing ditelinganya. Pemanasan itu seketika terhenti, ketika keduanya menoleh ke asal suara.

"A-abi?"

***

Hayo lo, mamam tak ku sia.

Nikmat pisyan, kepergok.

Jangan lupa vote ya.

Makasih banyak ya


Riyadh, 2.01 PM, wed 16 march 2022.

Cah Semprul ( Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang