Hari demi hari dilaluinya dengan ketabahan dan kekurangan ekonomi. Namun, ia terus berusaha menyambung hidup, walau hanya sebagai tukang cuci piring.
Satu tahun berlalu dengan sangat lambat. Vidi mulai banyak makan dan jajan. Tubuh Fatim mulai menyusut.
Abi sudah lama sekali tak mengunjunginya. Vian jarang sekali mengunjungi Vidi. Setidaknya sebulan sekali gitu, tapi ini mah 3 bulan sekali, baru nongol.
Rian sering mengunjungi Fatim. Bahkan ia rela menggantikan posisi Fatim saat bekerja. Vidi juga dekat dengan Rian, membuat Fatim memaafkan kegoblokan Rian di masa itu.
Sebenarnya Abi ke mana? Apa ucapannya waktu itu benar, bahwa dia hanya bermain saja?
Sebenarnya Abi dijodohlan dengan Nesa oleh keduarga Nesa. Papa dan mama Abi sempat membahas masalah ini. Namun Nesa nampaknya mendapat tekanan dari seseorang.
Nesa tiba-tiba saja pulang ke Indonesia, menemui Mama Abi yang waktu itu sedang menikmati cutinya.
"Hai, Tante," serunya, yang sudah ada di belakang rumah.
Di rumah Abi juga ada kolam berenangnya, di belakang. Tempat paforit mama dan papa.
"Kamu, ke mana aja, baru nongol?" Mama Abi merentangkan tangan, agar Nesa memeluknya. Ia pun pasti memeluk mama Abi, jika bertemu.
"Sama siapa kamu?"
Nesa menoleh ke belakang, munculah dua sosok yang tak asing, yakni kedua orang tua Nesa. Pakaiannya sangat formal.
Kayanya mereka bakal bahas hal yang penting? Begitu benak mama Abi menebak.
Mama Abi pun menyuruh mereka duduk di ruang tamu. Perbincangan dimulai. Nampak raut wajah mama Abi senang.
Tak lama dari situ, papa Abi juga pulang. Mereka kembali membahas masalah Nesa dan Abi yang sudah lama berhubungan.
Mama dan papa Abi tahunya, bahwa Abi dan Nesa baik-baik saja, setelah banyak sekali konflik antara keduanya.
Setelah rencana pernikahan ini disetujui, papa menelepon Abi untuk segera pulang.
Abi yang hendak pergi ke apartemen pun tak jadi. Ia memutar balik mobilnya, untuk segera datang ke rumah orang tuanya.
Sudah lama sekali Abi tak pulang, sampai-sampai saat ia tiba, kedua orang tuanya memeluknya erat.
Pembahasan tadi sore kembali dibahas. Kini lengkap, karena Abi telah tiba.
Matanya terbelalak saat mendengar acara pernikahan ini akan diadakan minggu depan. Benar-benar sangat mendadak.
Bahkan, ketika sudah menikah, keduanya akan meneruskan kuliah di Tokyo. Abi benar-benar merasa kecewa akan orang tuanya yang menyetujui pernikahan ini.
Satu minggu terasa sangat cepat. Kini Abi dan Nesa sudah sah menjadi pasangan suami istri. Baru saja dua hari di rumah, keduanya harus pindah ke Tokyo.
Kuliah Abi pun berantakan. Awalnya di Amerika, pindah ke Indonesia, dan sekarang harus pindah lagi ke Tokyo. Benar-benar melelahkan. Ia harus menyiapkan otak lagi untuk lingkungan baru.
Setelah menikah, Nesa terasa sangat dingin. Bahkan keduanya belum melakukan hubungan suami istri.
Pernah suatu malam, Nesa mengajaknya bermain di kasur, tapi Abi menolak. Nesa tak mempermasalahkan itu, toh dia tahu, kalau Abi cintanya Fatim.
Senyuman licik nampak jelas terlukis di bibir perempuan ini. Abi memilih tidur, ketimbang menemani Nesa dengan keadaan mabuknya.
Walau sudah menikah, Nesa masih mabuk dengan teman-temannya. Abi diam saja saat mengetahui Nesa nongkrong dengan temannya dan minum-minum, karena ia tak sayang padanya.
Cenderung membiarkan setiap aktifitasnya. Nesa juga tak benar-benar menginginkannya. Ia hanya menjalankan tugas dari temannya yang menginginkan Fatim.
Abi belum tahu bahwa Rian dan Nesa telah berteman lama. Rian sahabatnya dan sahabat dengan Nesa Juga.
Seiring berjalannya waktu, Abi merasa muak dengan Nesa yang semakin menjadi. Kelakuannya layaknya wanita jalanan saja.
Pulang malam dalam keadaan mabuk dan berantakan. Padahal dia anak kuliahan. Walau begitu, kuliahnya tetap lancar-lancar saja.
Papa dan mamanya tak tahu akan kelakuan Nesa di Tokyo. Abi juga tak bergerak akan keadaan ini. Ia terlalu sering memikirkan Fatim, sampai-sampai ia tak tahu bagaimana cara menerobos keadaan ini.
Entah lemah atau memikirkan hal lain, tapi, Abi benar-benar goblok. Tak bergerak dan tak berontak.Pagi ini terlihat Nesa duduk di meja makan, dengan sarapan yang telah ia sediakan. Nesa memang pandai masak, tapi jika dilihat dari sikap berandalannya, nampaknya ia tak bisa apa-apa selain mabuk.
Duduklah Abi dengan setelan kuliahnya. Memakai hoodie dan celana sejenis trening, tapi bukan trening.
Celana apa sih itu namanya?
Mulai memakan sarapan yang dibuatkan istrinya.
"Lo apa kabar?" tanya Abi, setelah sekian lama tak saling bertutur kata.
"baik, gue baik," sahutnya biasa, sambil terus mengunyah.
"Gimana pacar lo?" tanyanya, sedikit menggertak.
"Pacar? Sejak kapan gue punya pacar?" tanyanya, kini menatap Abi.
"Lo punya pacar, kan?" tebaknya, penuh penekanan.
"Sok tau lo!" balas bentak, sambil berdiri, untuk kemudian melangkah.
Tangan Abi segera menahannya. "kalo emang lo gak punya pacar. Kenapa lo giniin gue?" Merasa sudah lelah akan hidup ini. Ia merasa bahwa memang ia harus bersama Nesa, suka maupun tidak.
"Sejak gue putus sama lo, gak ada cowo yang bisa luluhin gue, selain lo. Jadi, gue jomblo," ungkapnya tegas.
"kalo emang cuma gue. Kenapa lo putus sama gue?"
"Ya, gue ngerasa kalo cinta lo dah pergi. Jadi, buat apa gue bertahan sama cowo yang udah gak ada rasa lagi ke gue?"
"Gue emang gak ada rasa sama lo," akunya datar, dengan tangan yang masih menahannya.
"Jadi, gue putusin buat cerai," sambungnya, sambil melepaskan genggamannya.
Mata Nesa langsung membulat. "Gak bisa, ini gak bisa dibiarin," batinnya.
"lo gak bisa gitu dong!?" pekiknya, menatap tajam.
"Kita gak ada romantis-romantisnya. Lo juga sibuk dengan dunia lo. Begitupun gue. Jadi, lebih baik kita pisah aja," tandasnya, lalu pergi melewati Nesa yang masih kaget dan bingung.
"Aduh, mampus gue," bisiknya ke dada dalam dadanya.
Ia pun segera menelepon Rian, memberitahu tentang kejadian barusan.
Rian segera mengambil tindakan setelah menerka-nerka, apa yang akan Abi lakukan.
***Gais, kalian suka gak sih sama novel ini?
Aku agak suka, dikit, wekaweu, hahaha.
Jangan lupa vote ya.
Makasih banyak.
Riyadh, 11.38 PM, sunday 13 march 2022.