74. Bendera Kuning.

11 1 0
                                    

"A-abi?"

Keduanya terperangah melihat sosok yang berdiri tegap.

Cring!

Jari Abi menyalakan lampu, menunjukan keduanya yang bertumpuk di sofa.

"Bagus lo ya? Gak ada gue lo berani kaya gini, di apartement gue lagi," cercanya dengan suara yang marah.

Fatim segera mendorong Rian hingga terjatuh ke lantai.

"A-abi, ini gak seperti apa yang lo kira?" gagap Fatim, yang berdiri.

"Apa? Gak seperti yang gue kira? Eh, cewe murahan, gue liat dengan mata kepala gue sendiri. Lo pikir gue buta?"

Abi memalingkan wajah, sedikit terkekeh. "Oh iya, gue kan emang buta. Buta karena gue udah sayang sama lo," sambungnya sinis.

"Eh, yang murahan tuh lo, bukan cewe gue," balas Rian, tak suka perempuannya direndahkan.

"Apa, cewe lo? Jadi cewe gampangan ini udah jadian ama lo? Udah berapa kali lo nidurin dia?" Wajah Abi sangat merendahkannya.

"Abi!" jerit Fatim tak terima. Ia berjalan menghampirinya.

"Gak usah deketin gue. Alergi gue deket sama cewe jalang kaya lo," hentinya.

"Abi, lo udah keterlaluan!" elak Rian, mulai emosi.

Abi kembali menunjukan senyum jijinya. "Heuh, pantes aja emaknya ngusir dia, toh emang bener, kalo dia itu bukan cewe baik-baik," hina Abi semakin kerterlaluan.

"Abi! Ini semua karena lo, bukan semata-mata gue," elak Fatim, sedikit mulai emosi.

"Gue? Bukannya lo yang bikin masalah?" debatnya, tak merasa salah.

"Abi, lo udah keterlaluan!" bentak Fatim, sudah tak bisa menahan emosi.

Naiklah sebelah bibir Abi. "Heuh, emang kalo cewe murahan susah ngaku, ya?" sindirnya terkekeh geli.

"Abi, lo pikir selama ini gue bisa tenang? Gak bisa. Gue kepikiran lo, tapi lo ke mana? Lo ke mana di saat gue butuh lo?" Fatim membela diri.

"Heuh, cewe kaya lo mana bisa hargain perasaan orang. Cewe kaya lo pasti banyak yang make. Udah, urusan gue udah kelar. Gue udah tau, betapa hinanya lo," cacinya semakin mendalam, lalu pergi dari hadapan keduanya.

"Oh ya, apartment ini buat lo aja. Sebagai hadiah waktu itu," ucapnya sebelum melangkah pergi.

"Waktu itu apa?" tahan Rian.

Abi menoleh dengan kepalanya saja. "Karena gue udah pake dia."

Fatim hanya bisa terjatuh ke lantai, tak kuasa menahan keadaan ini. Ia merasa sangat salah. Seharusnya ia tak membuka hati untuk Rian.

Bagaimana tidak berpaling, toh Rian yang selama ini ada untuknya. Namun tetap saja, Fatim merasa sangat bersalah, telah membuka hati untuk lelaki lain.

Tumpahlah air matanya. Rian segera menghampirinya. "Sayang, udah ya. Kamu berharga kok. Kamu lebih dari segalanya," tenangnya, sambil memeluk tubuh Fatim yang terasa dingin.

"Yan, apa gue murahan?" tanya Fatim parau.

"Enggak, lo berharga. Lo beda dari cewe-cewe lain."

"Tapi dia bilang, gue cewe jalang?"

"Udah, gak udah ngurusin perkataan dia."

Nguuuuk, nguuuuk, nguuuuk.

Ponsel Fatim bergetar di atas meja depan sofa. Fatim segera mengangkat telepon  itu.

Yang menelepon itu adalah Erika. Ia memberi kabar mengenai enyaknya. Segeralah Fatim berlari menuju rumah enyak. Rian juga membersamai langkahnya.

Sesampainya di sana, Fatim langsung berlari ke dalam rumah. Terlihat banyak sekali orang di dalam, memenuhi rumah.

"Ini ada apa?" tanyanya pada Erika yang berdiri menunggu kedatangan Fatim.

"Enyak lo, Tim," lirihnya parau. Lidahnya terasa keluh untuk berbicara.

"Apaan? Ngomong," desak Fatim. Ia merasa sudah tak enak hati.

Melihat Erika yang tak kunjung buka suara, ia pun menerobos ke dalam. Terlihat seseorang tertutup kain batik berloreng panjang.

Seluruh tubuh yang terbaring itu tertutup. Dikelilingi oleh ibu-ibu yang membaca alquran. Bibir Fatim seketika bergetar kaku, tubuhnya sangat berat.

"i-ini---sape?" tanyanya, sambil menatap tubuh itu.

"Nak, yang sabar ye, enyak lo udah tenang di sono," sahut salah satu ibu-ibu yang tengah mengaji.

Fatim seketika tersungkur ke kaki almarhumah enyak. Mata yang lebam itu kembali mengeluarkan airnya. Kali ini ia tak mampu menahan tangisnya. Pecah sudah kelopak matanya.

Perlahan ia merangkak menuju kepala enyak. Dibukanya kain yang menutupi wajah enyak yang sudah tertutup kain putih yang kasar.

"Nyak, kenape enyak kagek pamit ame aye, Nyak? Aye kan cuma punya enyak," ringisnya, penuh kesedihan.

Tangan  Rian membelai bahu Fatim. "Fatim, lo harus kuat. Gue yakin, lo pasti bisa lewatin ini semua. Gue akan selalu ada buat lo," bisik Rian.

Fatim masih mengajak jasad enyak untuk bicara. Ia sudah kehilangan akal sehatnya, hingga mengajak enyak untuk membuat adonan martabak telur.

Beberapa dari mereka membawa Fatim ke kamar, menasehatinya agar mengikhlaskan  kepergian enyak.

Malam ini cuaca tidak memungkinkan untuk menguburkan jasad enyak, karena sudah sangat malam dan alam tengah diguyur hujan.

Semalaman Fatim mengaji di samping jasad enyak, dengan isakan yang tak terhenti.

Paginya enyak di ke bumikan. Tangisan Fatim masih mengiringi kepergiannya. Hari ini memang terasa sangat berat.

Kehilangan Vidi, Abi, lalu enyak. Penderitaan yang datang tanpa skala. Sungguh melelahkan baginya. Hingga sampai di rumah, Fatim hanya berdiam diri di kamar enyak, sambil memeluk guling yang biasa enyak peluk saat tidur.

***

Kue donat, punya mang mamat.
Tamat

Makasih yang udah baca novel absurd ini.
Makasih banyak.

Sedih sih, tapi pagimane ye?

Jangan lupe deh ye, pade vote ye.

Bae-bae dah lu padaan.

Makasih ye.

Bye-bye.

Riyadh, 5.42 Pm, thu 31 march 2022.

Cah Semprul ( Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang