Turun dari panggung, Fatim laangsung mengganti pakaiannya dengan jas sebelumnya. Semua guru menyanjung penampilan kelas 11 IPS 1.
Malamnya sekolah ini mengadakan pesta kecil-kecilan. Fatim tampil sama seperti siang tadi. Ia duduk di depan kelasnya.
Dari jauh seorang siswa memperhatikan Fatim, dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Abi ingin menghampirinya, namun gengsi.
Sepertinya Abi menyukai Fatim. Tapi ia juga masih bingun dengan Nesa yang sikapnya membuat Abi bertanya-tanya.
Nesa juga di Jepang sedang pesta di sekolahnya. Nesa berkumpul, becanda tawa dengan temannya, sedangkan Abi di Indonesia berdiam diri, tak ada yang membuatnya tersenyum, selain melihat Fatim berbeda, di matanya.
Fatim pulang lebih awal, karena harus berjualan. Ia malu jika harus berjualan di sekolah.
Kini ia sudah berdiam di lapaknya. Ia termangu memandangi sepatu yang ia kenakan.
"Mba, martabaknya satu ya. jumbo," pinta pelanggan yang tiba-tiba datang. Fatim segera membuatkan pesanan, tanpa menatap sang pembeli.
"Ngelamun aja, Mba?" tanyanya.
"Ah, kagak," sahut Fatim seraya menileh ke suara itu.
"Loh, elo, ngapain di mari?" tanya Fatim kaget.
"Gue udah lama gak ketemu lo, sekarang lo udah berubah. Ternyata aepatu bekas, cocok di kaki lo ya," ejeknya dengan wajah tak perduli.
"Bodo amat, ah Abi," sahutnya cuek.
"Bungkus apa dibawa balik?" tanyanya.
"Makan sini aja. Mama udah makan, kok," sahut Abi.
Fatim menyajikannya di atas piring.
"Laper lo?" tanya Fatim yang melihat Abi makan dengan lahap.
"Belom makan dari pagi."
"Lah?"
"Jaga suara."
"Lebay lo, segala jaga suara," ejek Fatim.
"Lo gak makan?" tanya Abi.
"Liat lo makan, udah kenyang gue," timpalnya.
"Berak lo."
"Lau makannya kaya orang kelaperan. Gimana gue kagak kenyang coba?" dalihnya.
Tangan Abi terangkat untuk menyuapi gadis yang duduk di depan mejanya. Fatim nampak tak percaya akan kelakuannya. Ia sedikit ragu untuk menerima suapan itu.
Matanya melirik wajah lelaki ini. Abi menaikan kedua alisnya, meyakinkan Fatim untuk menerima suapannya. Fatim pun dengan ragu membuka mulutnya.
Abi memasukan potongan martabak itu. Senyum sinis terpancar di bibirnya. Abi memasukannya bersamaan dengan jemarinya, membuat Fatim melebarkan mulutnya.
Pikiran jail Fatim berfungsi secara otomatis. Ia mengigit jemari jail itu.
"Argh, sakit, Dongo," raung Abi, mengernyitkan wajahnya.
Fatim pun melepaskan gigitannya, usai mendengar perintah dari Abi. Ia mengunyah sambil sedikit cekikikan.
"Lo lucu, deh," kekeh Fatim.
"Pale lo peang!" sergah Abi.
"Ade yang niru umpatan gue nih," sindir Fatim, sedikit menaikan dagunya.
Abi terdiam, malu. Beberapa detik kemudian, ia mengangkat kembali wajahnya, menunjukan senyuman jail diwajahnya.
Fatim jiji melihat senyum itu. Telunjuknya terangkat untuk menoyor jidat Abi. Terjengkaklah ia ke belakang. Segera tangan Fatim meraih kerah baju Abi.